“Selamat ya atas pernikahannya!” ucapku sambil menyalami mempelai pria yang tidak lain adalah mantan kekasihku.
“Ah! Terima kasih Det udah mau datang!” karena antrian yang panjang tengah menungguku di belakang, maka aku bergegas ke posisi sang mempelai wanita.
“Selamat ya!” lalu kemudian mempelai wanita menarikku dan kami saling memberikan pipi kiri-kanan selayaknya kawan karib. Ia hanya tersenyum sambil berucap terima kasih.
Sudah? Itu saja? Tak ada lagi kalimat yang super drama dan mendayu-dayu? Di mana adegan ketika kami saling bertatapan dan waktu seolah tak berputar. Seolah kami tak ingin terpisah satu sama lain. Seolah jika ini di adegan drama korea kami bisa dishoot hingga 15 angle dan soundtrack lagu menye akan diputar.
Baca juga:
Haruskah aku menyanyikan lagu sedih bagi sang mantan karena semua berjalan terlalu mulus saat ini? Ingin sekali rasanya aku mengacaukan pesta perkawinan ini.
Kendalikan dirimu. Jangan emosi. Tapi, jika mengingat lagi masa lalu, sungguh ini semua salahku sendiri …
“Det, gimana kalau kamu lulus kuliah nanti kita nikah? Aku sudah siap dengan semuanya kok!” ujar Mas Dirga mantap.
Aku kemudian pura-pura tak dengar. Seperti biasa aku hanya akan bersenandung kecil ketika ditanyai seperti ini di tengah jalan. Mas Dirga yang menyetir motor kini kebingungan karena aku tak menanggapinya.
“Hoi Det! Kok aku nggak ditanggepin sih?” protes mas Dirga sambil menepuk lututku.
“Eh mas, minggu depan kita makan di Ramen yang di jalan Udang itu yuk? Katanya banyak lho porsinya!” ucapku mengalihkan pembicaraan.
“Ohya? Enak dong?” Mas Dirga kalau soal makanan yang porsinya banyak pasti mudah teralihkan dan akan menyebutnya enak, sekalipun bisa jadi itu nggak enak sama sekali.
Pada akhirnya, untuk kesekian kalinya aku yang memenangkan percakapan mengenai rencana nikah. Sejujurnya, aku bukannya nggak mau nikah sama Mas Dirga. Tapi.. aku belum siap menjelaskan pada orangtuakku tentang pekerjaan mas Dirga.
Aku jadi merasa bersalah dan takut jika di lain hari Mas Dirga mengajakku jalan lagi dan kemudian menanyaiku terus-menerus tentang pernikahan. Ingin sekali rasanya aku mengatakan, ‘Mas! Aku itu kesusahan ngomong sama bapak-ibu tentang pekerjaanmu. Aku takut bapak-ibu nolak kamu yang pedagang di pasar.’
Baca juga:
Aku tidak bermaksud mendiskreditkan. Tapi orangtuaku terbiasa dengan pola pekerjaan yang pasti seperti PNS. Semua menantunya adalah PNS terbaik di kecamatan. Belum pernah dalam sejarah keluargaku anaknya akan menikah dengan calon yang bukan PNS. Semacam diskriminasi pekerjaan? Entahlah. Itu hanya pola pikirku sebenarnya.
Bagaimanapun, ketakutanku menggiringku pada perbuatan ini: mengabaikan setiap telepon yan berdering dari Mas Dirga. Sudah dua minggu lebih aku mengabaikan pesan singkatnya, teleponnya. Kebanyakan berisi:
Det, ayok nemenin mas jalan ke alun-alun.
Det, kamu sudah makan belum? Ayok nemenin mas makan.
Det, kenapa telponku nggak diangkat?
Det, kamu marah?
Det, jawab aku dong. Aku ada salah kah? Aku SMS, nggak kamu balas. Aku telepon, nggak kamu gangkat.
Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada orangtuaku.
“Pak,Bu.. Detta mau bicara..” ucapku takut.
“Kenapa Det?” tanya Bapak yang segera mengalihkan perhatiannya dari TV kepadaku. Sementara ibu yang sedang dirangkul bapak di sebelahnya mulai memasang wajah curiga.
“Anu, ini soal pacarnya Detta.” lanjutku.
“Kamu hamill Det??!” teriak ibu langsung.