Kemudian, Ke mana Semua Rasa Itu Pergi?

Gereja di sore hari itu… Seolah menyisakan kami berdua bersama kenangan kami. Di kala kami berdua saling bertatap mata. Awalnya aku ragu apakah itu benar dia, begitupun tatapan matanya seolah tak percaya kala melihatku. Memeriksa berbagai perubahan yang terjadi padaku. Aku pun dalam sekilas pandang berusaha memahami apa yang berubah pada dirinya. Parasnya tetap cantik. Gaya tubuhnya tetaplah sama. Ia tampak sedikit lebih kurus dengan model rambut pendek itu. Tak ada senyum di wajahnya. Bibirnya menggerakkan ekspresi seolah tak percaya melihatku setelah sekian lama menghilang. Tapi karena saat itu tengah berlangsung perayaan ekaristi, kami memilih untuk mengabaikan semua itu.

Sayangnya posisiku duduk berada beberapa bangku di depannya. Aku tak akan mampu mencuri pandang untuk memastikan apakah itu benar dirinya. Sementara ia, dapat dengan mudah megamatiku dan mungkin… masih terheran-heran mengapa aku pergi begitu saja menghilang dari hadapannya.

Baca juga:

 

Aku tahu bahwa ia ada di Jogja. Tapi siapa yang menyangka bahwa pertemuan kami akan menjadi seperti ini. Dalam diam, dan dalam pengabaian.

Seusai ekaristi, aku memutuskan untuk menghilang seperti biasa. Ya, memang aku lah pengecut dalam hal ini. Aku begitu takut menemuinya. Aku begitu takut untuk disakiti lagi, sama seperti dengan yang ia lakukan 5 tahun lalu.

Tapi, tatapan matanya yang tampak terkejut, girang, lalu sedih itu terbayang-bayang begitu saja. Apakah aku juga menyakitinya? Bagaimanapun aku tetap penasaran dengan apa yang ia pikirkan tentang diriku. Lagipula, siapakah diriku sehingga aku berhak mendapatkan empati semacam itu darinya?

Sesampainya di rumah, aku duduk di kursi kerjaku. Mendung. Aku sudah terlanjur nyaman dengan dinginnya mendung. Redupnya cahaya kuabaikan. Kuputuskan melihat smartphoneku. Kubuka facebook. Media terakhir yang memungkinkan untuk memeriksa riwayat komunikasiku yang terakhir kali dengannya. Kucari akunnya di daftar blokir. Gadis ini mengubah hidupku dalam sekejap, pun membuatku hidup dalam kelabu mendung setiap kali mengingatnya.

Pertama kali aku melihatnya saat aku sedang bertugas membersihkan area depan klinik asramaku. Saat itu aku masih berusia 16 tahun. Usia yang terlalu muda untuk memikirkan bahwa cinta pun bisa jatuh pada siapa saja. Ditambah, jika kamu tinggal di asrama laki-laki, rasanya jatuh cinta adalah momen yang sangat ‘membahagiakan’ mata dan hati.

Suasana yang awalnya hening di pagi buta itu mendadak menjadi ramai. Teman-temanku terkejut dengan kehadiran seorang gadis yang tengah berjalan dari arah asrama susteran. Langkahnya begitu anggun. Senyumnya begitu menawan. Dilihat dari perawakannya, tampaknya ia beberapa tahun lebih tua dibandingkan aku. Ia berjalan dengan kawannya. Teman-temanku yang awalnya ogah-ogahan selama bersih-bersih pagi, kini membuka matanya lebar-lebar. Menghentikan aktivitasnya. Melupakan rasa kantuknya. Mata mereka mengikuti ke mana gadis ini melangkah.

Ia melangkah ke arahku.

Lebih tepatnya ke arah klinik yang pintu depannya kuhalangi ember …

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!