Ratmo menyuruh anak itu duduk di dalam lalu membereskan gerobaknya. Ketika itu, entah kenapa Ratmo tiba-tiba merasa marah ketika tahu kalau besok ia harus membayar cicilan gerobak. Belum lagi, ia hanya memiliki sedikit bahan untuk membuat bakso besok. Lalu ia melihat anak gadis yang sedang duduk di dalam. Malam itu, jadi malam penentuan apakah dagangan Ratmo akan tetap bertahan atau tidak.
. . . .
“Pak! Baksonya nambah ya?” ujar salah seorang anak SD.
Ada juga sepasang suami-istri yang berhenti di SD itu untuk memesan bakso Ratmo.
Anak-anak SD juga menyukai bakso yang ia buat.
Sudah dua hari sejak kejadian itu. Ratmo akhirnya tetap bisa mempertahankan dagangannya. Bahkan bakso uratnya laku dengan cepat selama dua hari ini. Setelah sore itu, ia akhirnya tetap bisa membayar cicilan gerobak tanpa harus kehabisan bahan dagangan. Ia merasa senang dagangannya bisa laku dengan cepat. Bahkan sebelum sore tiba, dagangannya sudah habis. Hanya saja, Ratmo bingung, darimana lagi dia akan mendapakan bahan bakso gratis itu? Dengan cara seperti apa lagi? Pada sore itu dia beruntung sekali. Akankah keberuntungan itu terulang?
Ratmo mendorong gerobaknya pulang. Ia mau mempersiapkan bakso untuk besok. Sesampainya di rumah, dibukalah pendingin kecil untuk menyimpan dagingnya. Diambillah potongan daging yang masih menjadi satu dengan tulangnya. Disayat dan dipisahkanlah daging itu dari tulang. Dicacahnya daging itu dan dimasukkan ke dalam adonan. Dirasakannya adonan itu, apakah sudah pas rasanya. Lalu dibentuk bulat-bulat dan dimasak. Sembari memasak, Ratmo hanya menatap persediaan dagingnya yang terakhir. Sebuah kepala dan sisa-sisa bagian dadanya. Ia kembali membayangkan gadis baik yang mampir sore itu. Ratmo ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada gadis itu, tapi sayang ia tidak akan pernah bisa bertemu gadis itu lagi.
“Gadis baik yang malang.” batin Ratmo sambil tersenyum.
Baca juga: