“Han! Ai-luv-uu-sooo-match-!!” ujarmu sambil teler. Sudah berjam-jam kau duduk di ruang tamuku. Aku tak mengerti lagi sungguh hancurkah hatimu hingga seperti ini?
Gelas martini yang sedari tadi kau pegang kusingkirkan dari genggamanmu. Segera semuanya kubereskan sebelum kamu memberontak lebih jauh. Sempat kau memukuliku karena aku menyingkirkan semuanya dari hadapanmu. Pukulan itu tak membekaskan rasa sakit, bahkan gatal pun tidak. Hanya menyampaikan rasa sakit karena amarah yang tak jelas arahnya ke mana. Entah apa yang sedang menjadi sasaran amarahmu. Aku kah? Atau keadaan lain?
Baca juga:
“Han! Lepaskan aku! Lepaskan aku!” teriakmu setengah tak sadar sambil memukul-mukul punggungku ketika aku membopongmu menuju tempat tidurku. Aku hanya bisa prihatin mendengarnya.
“Beristirahatlah di sini sementara. Besok kalau sudah sadar, aku akan mengantarmu pulang.” ujarku sambil menarikkan selimut untuk menutupi tubuhmu yang kecil itu.
Aku terduduk. Menatapmu. Tak pernah kusangka semua akan menjadi seperti ini.
Tiga bulan lalu, kau datang padaku. Kau katakan bahwa hatimu hancur karena kekasihmu pergi begitu saja meninggalkanmu.
“Ada apa?” tanyaku padamu yang kali itu bahkan terlihat jauh lebih tegar dari saat ini.
“Kekasihku pergi. Tanpa alasan yang jelas. Tanpa tanda-tanda. Seolah semua rasa hilang dalam sepersekian detik.” kisahmu singkat. Aku hanya mengangguk berusaha mengerti perasaanmu.
“Aku pun pernah merasakan hal yang sama sepertimu…” ujarku belum menyelesaikan kalimatku.
“… Namun akhirnya berbeda.” kita berdua menyelesaikan kalimat itu dengan ekspresi berbeda. Aku dengan nada yang datar. Sementara kau dengan nada kesal.
“Baiklah.” kataku sambil menghela napas. “Aku akan menemanimu sampai akhirnya kamu menemukan orang lain untuk berlabuh.” tawarku padamu.
“Sungguhkah?” tanyamu begitu antusias.
“Aku pernah merasakan hal berat yang sama sepertimu. Menemanimu mungkin akan membuat suasana hatimu jauh lebih baik. Menghindari trauma dari pria bajingan. Dan bersiap memulai cinta yang baru.” jelasku layaknya Baymax pada Hiro.
Sementara itu matamu membulat seperti kucing yang tengah memasang aksi memelasnya. Entah bagaimana hatiku sempat berdegup karena lakumu yang semacam itu. Sempat aku berpikir, salahkah aku membiarkan dirimu bergantung padaku untuk sementara ini. Namun aku tahu, bahwa dikhianati pun tak pernah mengenakkan rasanya.
Mulanya kita hanya saling bertukar kisah. Lambat laun kita kemudian sering berjalan berdua. Justru tak ada hari yang dapat kulewatkan tanpamu. Ia yang dulu pernah kuperjuangkan pun rasanya tak pernah terlintas lagi di benakku kala bersamamu.
Lalu aku menatap lampu kota dari ketinggian. Ketika meraba bahwa semua perasaan ini kian menjadi nyata dan dirimu kini tak lagi hanya bergantung padaku, namun terpikat pada keadaan kita. Benarkah ini semua?
Lima jam yang lalu kau datang ke rumahku dengan wajah serius. Tepat seminggu setelah aku berusaha mengabaikanmu. Tepat tiga hari setelah aku memutus komunikasi denganmu. Kau tampak begitu sedih. Kau bawa sebotol martini. Kau memaksa masuk dan aku tak kuasa menolak kedatanganmu.