Menaruh Cinta pada Orang yang Salah

Aku menaruh cinta pada seorang gadis.. Atau setidaknya dapat dikatakan kami saling menaruh cinta…

Kami saling kenal setidaknya selama setahun ini. Kami bertemu dalam sebuah ketidak sengajaan. Saat itu aku sedang dalam sebuah perjalanan bisnis menuju Palangkaraya. Pesawat sedang transit di Jakarta, sementara rekan kerjaku harus bertemu beberapa saat untuk mengurus bisnis penerbangan di sana sekaligus menghabiskan waktu transit. Kebetulan saat itu aku masih lajang dan ia memiliki kenalan seorang pramugari di sana. Tak ada angin tak ada hujan, rekanku meminta pramugari tersebut menemani waktu tungguku di Jakarta.

Baca juga:

 

“Sedang tidak bertugas?” tanyaku. Ini pertanyaan retoris tapi aku butuh untuk membuka sebuah percakapan walau sekedar basa-basi.

“Iya mas. Saya juga baru saja mendarat. Masnya nunggu pesawat yang ke Palangkaraya ya?” tanyanya memastikan.

“Bener. Kok tahu?” tanyaku sekali lagi retoris. Sudah jelas bahwa pramugari ini adalah kawan rekan kerjaku itu. Pasti ia sudah menceritakannya terlebih dahulu.

“Iya. Teman saya yang menceritakannya.” Tuh kan. Sudah jelas apa jawabannya. Aku berusaha memutar otak agar pertanyaan selanjutnya tak retoris.

“Teman saya itu aneh. Saya nunggu dia sendiri juga nggak apa-apa kok. Maaf ya membuat mbak nunggu sama saya.” jelasku padanya.

“Ah nggak apa-apa kok mas. Saya juga nggak keberatan kok! Kebetulan saya juga nanti sore akan terbang lagi, jadi nanggung kalau harus pulang. Malah rugi waktu.” jelasnya.

Itulah sebuah percakapan basa-basi yang menjadi awal mula bagaimana kami akrab. Tak hanya itu, entah bagaimana, dalam penerbanganku ke Palangkaraya, kebetulan kami akhirnya bertemu lagi dalam satu ppesawat. Aku sebagai penumpang, sementara ia sebagai pramugari yang bertugas. Ia tersenyum ketika melihatku menumpangi pesawat di mana ia bertugas. Sebenarnya, aku tahu bahwa senyum adalah standard utama dalam pelayanan pramugari. Tapi, aku merasa senyumnya padaku berbeda.

Sejak saat itu, kami bertukar nomor dan kemudian secara intens saling menghubungi. Ke manapun ia pergi, ia selalu mengabariku. Hingga akhirnya aku mengetahui, bahwa ia pun masih lajang. Selama ini kami sama-sama berkomunikasi sebagai laki-laki dan perempuan yang kesepian. Aku yang beberapa saat lalu sudah akan melamar kekasihku pada akhirnya tak direstui oleh orangtuanya, sementara ia, baru saja dikhianati kekasihnya karena sebuah persaingan di masa lampau.

Rasanya tak hanya hal itu yang membuat kami cocok satu sama lain. Ada banyak hal yang membuat kami begitu sinkron. Aku adalah orang yang blak-blakan, begitupun dirinya. Aku perfeksionis, ia pun demikian. Aku memiliki idealisme tinggi dalam menilai seseorang, begitupun dirinya. Banyak kecocokan di antara kami pokoknya. Rasanya satu-satunya perbedaan kami hanya terletak pada jenis kelamin. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk jadian.

Di satu malam, kami berbincang-bincang mengenai keluarga kami. Selama ini kami tak pernah bertemu keluarga masing-masing.

“Kalau tiba saatnya… aku akan mengenalkanmu pada keluargaku.” ujarku berat.

“Ada apa?” tanyanya padaku.

Aku menghela napas. “Entahlah.. Aku sebenarnya tak begitu suka dengan keluargaku. Mereka selalu sibuk dengan urusan masing-masing, bahkan bisa sampai menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan. Hubungan kedua orangtuaku dengan saudara-saudaranya pun tak terlalu baik.” jelasku.

“Sama sepertiku.” ujarnya.

“Oh iya? Bahkan aku sama sekali tak mengenal sepupu-sepupuku. Kata kedua orangtuaku, tak ada gunanya aku mengenal mereka.” jelasku sedih.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!