Tanpa kusadari, seorang anak kecil tengah berjongkok di dekat kakiku. Mengelus-elus sebuah batu yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga membuatnya begitu terheran-heran.
“Ini apa ya?” begitu polosnya anak itu bertanya masih sambil dengan mengelus-elus batu itu.
Aku membungkuk. Mengatur jarak sedemikian dekat. Cukup dekat dengan telinganya. Lalu aku berbisik, “Itu nisan, nak!”
Anak itu kini menatapku. Terheran-heran. “Untuk apa orang mati membutuhkan nisan?”
Anak-anak memang terlahir sebagai ilmuwan. Mereka selalu menanyakan apa yang membuat rasa penasaran mereka tergelitik. Berusaha mencari jawabannya, sekalipun perkara itu tampaknya sepele. Awalnya aku bingung harus menjawab apa. Tapi dengan naluriku sebagai ibu tiga orang anak, tentu aku sudah cukup berpengalaman menyikapi pertanyaan-pertanyaan jenius semacam ini.
“Orang mati membutuhkan nisan, agar kita yang masih di dunia dapat mengenangnya.” aku masih meraba-raba jawabanku sendiri. Sudah tepat, ataukah belum. Merasa tidak yakin dengan jawabanku sendiri, aku memberi keterangan lanjutan. “Maksud ibu, terkadang, kita lupa bahwa ini makam siapa. Apakah ia sudah berjasa bagi bangsa, ataukah, ia seorang ayah yang baik, atau seorang anak yang bersikap manis seperti dirimu. Mungkin sebenarnya bukan mereka yang membutuhkan nisan. Tapi.. kita sendiri lah yang membutuhkan nisan itu karena segala keterbatasan kita, dengan mudah melupakan mereka yang pernah hidup.”
Anak itu termangu. Menatapku, lalu kembali menatap batu nisan yang ada di dekatnya. Baru saja beberapa saat ia menaruh perhatian lebih pada nisan itu, sepasang tangan sudah memindahkannya ke sudut lain. Tanda bahwa kubur telah ditutup. Nisan sudah siap ditanamkan.
“Apakah kakekku orang baik?” tanya anak itu.
“Tentu saja. Kakekmu mengorbankan banyak hal bagi bangsa dan negaranya. Begitu pula dengan semua orang yang disemayamkan di sini. Mereka memiliki kisah heroiknya masing-masing.” jawabku lembut.
Setelah prosesi pemakaman berakhir, kawan-kawanku mengajak berfoto bersama. Seperti taman makam pahlawan pada umumnya, makam ini terlalu indah untuk disebut sebagai makam. Kawan-kawanku (dan termasuk aku) sebenarnya sudah tak tahan dari tadi untuk berfoto bersama. Kami sengaja menunggu semua pelayat pulang, termasuk keluarga yang tengah berduka. Antara tak tahu diri dan tak peduli dengan semuanya, kami langsung berkumpul di titik yang cukup indah untuk berfoto bersama.
Ibu-ibu tetaplah ibu-ibu. Rasanya berswafoto dengan satu smartphone saja tidak cukup. Setiap smartphone diisi oleh pose kami yang berbeda-beda. Kira-kira tiga puluh menit kami berfoto bersama dengan berbagai macam pose. Sungguh geng ibu-ibu tak tahu diri, berfoto ria di pemakaman para pahlawan.
Sesampainya aku di rumah, teman-teman satu grup sudah mulai membagikan hasil foto. Grup chat menjadi heboh tatkala beberapa foto tampak begitu konyol. Lalu beberapa anggota lain mulai menyeletuk, menagih foto yang diambil menggunakan smartphoneku. Jelas, aku pun tak sabar membagikannya kepada kawan-kawanku.