Lantas semua menjadi sunyi.
Aku membuka mataku. Aku tengah duduk di motorku. Di sebuah tempat yang tak asing.
Aku kini berada di rest area di mana aku bertemu dengan Tarno dan kawan-kawannya. Tapi, ada hal yang jelas berbeda. Rest area ini… hanyalah reruntuhan. Tak seperti yang kulihat ketika aku bertemu dengan Tarno. Semak belukar sudah menguasai sebagian besar bekas bangunan rest area ini. Kursi-kursi sudah tampak lapuk dengan lumut yang menyelimutinya.
Kucium aroma kembang tujuh rupa. Disusul dengan bau anyir darah dari hutan di ujung jalan yang tadinya kumasuki.
Aku turun dari motorku. Berusaha memahami situasi yang terjadi.
Tiba-tiba angin dingin menerpaku. Sangat dingin hingga mampu menusuk tulangku yang sudah kututupi dengan jaket tebal ini.
Sebuah selebaran mengarah padaku.
HILANG. JIKA ANDA BERTEMU DENGAN MEREKA, TOLONG HUBUNGI 08-XX
Dengan foto Tarno dan kawan-kawannya.
Aku menoleh ke belakang. Kulihat sebuah papan petunjuk. Surabaya mengarah ke simpang lain. Sementara aku, berada di persimpangan yang berlawanan.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang kualami barusan. Aku bergegas mengambil motorku lalu menyalakannya dan memutar arah. Tiba-tiba kudengar sebuah suara.
“LHO? MAS DARMAN NGGAK JADI IKUT KAMI?!” itu suara Tarno. Disusul dengan tawa mengerikan dari kawan-kawannya.
Aku langsung menarik gas motorku.
“DARMAN?! DARMAN?! DARMAN?!” TIIINNNN! TINNNNN! TIIIIIINNNNN!
Ia memanggilku dengan cara yang sama dengan yang kulakukan tadi. Namun aku mengabaikannya dan terus mengarahkan kendaraanku ke jalur yang semestinya.
Rupanya Tuhan masih menaruh belas kasihan padaku…
Baca juga: