Malamnya, entah bagaimana Gusta tertidur lebih cepat dari biasanya. Apa yang ia lihat sore tadi membuatnya tak ingin berlama-lama terjaga. Tapi lebih tepatnya, ia langsung mengantuk ketika usai menyantap makan malam buatan bibi. Tanpa rasa curiga, Gusta terlelap begitu saja.
Tiba-tiba Gusta merasa sesak. Ia terbangun. Namun semuanya terlihat gelap. Ia ingin berteriak, namun tak dapat. Mulutnya disumpal oleh sesuatu. Membuatnya susah bernapas dan ketakutan. Ia memberontak, namun tubuhnya terikat di kursi dengan begitu kencang. Satu-satunya indera yang dapat digunakan Gusta dengan baik adalah telinganya. Sayangnya, apa yang didengarnya bukanlah hal yang ingin didengarnya.
Baca juga:
Gusta mendengarkan suara sesuatu yang tengah diasah. Pisaukah? Samar-samar ia mencium bau amis. Belum lagi rasa lembab di sekujur tubuhnya. Ditambah lagi, ia merasa benar-benar kedinginan. Atau memang benar bahwa ia tak sedang mengenakan sehelai pakaian pun?
Gusta kini memberontak. Ia berusaha berteriak sekencang-kencangnya. Namun itu semua sia-sia.
“Tenang nak!” sebuah suara menghentikan teriakannya. Terdengar suara langkah yang mendekat. Lalu sebuah tangan yang membelai kepala Gusta lalu turun ke pundaknya.
“Cep! Cep! Cep! Gusta ingat saat bibi mengatakan bahwa akhirnya paman menemukan cara untuk memperpanjang usia?” tanya suara yang sepertinya itu adalah suara bibi. Terdengar suara dehaman seorang pria yang tak asing. Itu suara dehaman pamannya.
“Kabar baiknya. Tak hanya paman yang diperpanjang usianya! Bibi pun bisa memperoleh keabadian dari situ! Hihihihi!” ujar bibi sambil terkikih. Tubuh Gusta kini gemetar. Bercampur antara rasa kedinginan dan takut.
Terdengar suara korek dinyalakan. Tak lama tercium bau asap rokok khas paman. Gusta mulai menangis. Keringat dingin keluar dari tubuhnya.
“Ini tak akan lama..” ujar paman tenang, kemudian disusul suara besi yang bergesek dengan sebuah batu. Entah itu pisau, atau pedang, atau sabit.
“Untuk mu kali ini spesial nak! Bibi yang akan melakukannya untukmu! Hihihihi!” ujar bibi sambil terkikih.
Tak lama Gusta merasakan sesuatu yang dingin menancap di dadanya. Begitu cepat namun ia tahu betul rasa itu. Rasa ketika besi dingin itu menembus jantung dan menghentikan kehidupannya seketika. Tanpa meregang nyawa. Membuat Gusta langsung melayang-layang melihat tubuhnya yang kini dipotong-potong oleh ‘bibinya’ dengan raut wajah yang amat mengerikan. Pamannya tampak menikmati proses sadis itu dengan terus menghisap rokoknya. Ia tersenyum mengerikan.
Gusta menoleh ke samping, dilihatnya bibi dengan wajah pucat yang menemuinya sore tadi. Bibi tampak begitu sedih melihatnya. Kini ia tahu, bahwa yang sedari tadi bersamanya bukan bibinya, melainkan iblis yang sudah mengambil wujud bibinya.