Buang Mayat Bapak ke Selokan, Nak!

Alkisah di suatu desa, hiduplah seorang bapak. Ia hidup dengan seorang anak laki-laki, anak kandungnya sendiri. Meskipun tak sendiri, ia tetap bagaikan seorang pria yang hidup sebatang kara. Karena anaknya adalah seorang dengan gangguan perkembangan pervasif, atau biasa dikenal sebagai autisme.

Separuh hidupnya ia gunakan untuk bisa membahagiakan anaknya, atau setidak-tidaknya, ia sendiri yang menganggap bahwa ia mampu membahagiakan anaknya seorang diri.

Pria itu ditinggal oleh istri dan anak-anaknya karena dituduh berselingkuh. Namun sebenarnya, yang terjadi adalah sebaliknya.

Bagaikan maling yang berteriak maling ketika terpergok, istrinya pergi dengan membawa serta harta benda pria itu tanpa menyisakan satu hal pun dalam keadaan hamil muda. Ia meninggalkan pria ini hanya dengan debu dan sarang laba-laba, dan seorang anak laki-laki yang bahkan tak dianggap karena ‘berbeda’. Tambah satu lagi, hutang berlipat-lipat tak jelas yang dibebankan pada pria ini.

Baca juga:

 

Tahun demi tahun dilalui pria ini dengan penuh perjuangan, hingga anaknya semakin tumbuh besar dan mengerti berbagai macam hal, setidaknya ia masih mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, walalupun kecerdasannya dalam bidang akademik tak begitu menonjol.

Satu hal yang pria ini pahami mengenai autisme adalah, para pennyandangnya terprogram seperti robot. Jika yang diperintahkan hanyalah “A” maka yang akan dilaksanakan hanyalah “A”. Jika tak ada perintah, maka penyandangnya tidak akan melakukan apa-apa. Sebagai contoh, jika ada 2 tugas yang seharusnya dikerjakan secara kontinu, seperti mencuci dan menjemur, maka penyandang autis jika hanya diperintah untuk mencuci, maka hanya akan mencuci. Selesainya, mereka tak akan menjemur, kecuali ada perintah yang jelas: ‘cuci dan jemur!’.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!