“Ayah bukan mencintai teko itu, nak.” kulihat isi lemari. Selusin teko yang sama persis ada di dalamnya.
“Ayah mencintai nikmatnya sore hari sambil melihatmu bermain dengan senang.” aku kini menatap ayah.
“Ah,, suatu saat ayah pun tak akan melihatmu bermain-main lagi di halaman rumah. Sementara suatu saat, teko ini bisa jadi jauh lebih tua dibanding diriku sendiri.” lanjutnya.
“Ingatlah nak, kebahagiaan tercipta dari hatimu. Bukan dari materi apa yang kamu miliki.” ucap ayah sambil tersenyum lalu kemudian mengambil beberapa jumput teh untuk diseduh lagi.
Sejak saat itu, aku pun selalu mencintai momen di mana ayahku menghaiskan sebagian waktunya di kala matahari akan terbenam. Sesekali aku menemaninya menikmati teh. Ayahku senang melihat cucunya bermain di halaman rumah. Ia selalu mengatakan bahwa ia merindukan masa kecilku.
Lalu pada akhirnya, seperti kata ayahku… Teko itu pun menjadi lebih tua daripada ayahku. Kini aku memiliki hobi yang sama dengan ayahku. Hanya saja, kursiku berada di sisi kiri meja. Sesekali aku membayangkan, ayah masih duduk di kursi favoritnya dan menikmati kebiasaannya menikmati teh dari teko kesayangannya.
Aku bahagia, karena teko ini selalu mengingtkanku pada pesan ayahku.
Kebahagiaan tercipta dari hati, bukan dari materi yang kita miliki.
Baca juga: