Tentu aku tetap khawatir sekalipun Bhaskara ataupun Aris berkata demikian. Belum selesai aku berandai-andai dengan kemungkinan terburuk, tiba-tiba kami mendengar suara sesuatu tengah menyusul kami.
Suara itu adalah suara gerobak yang didorong dengan cepat. Suara seng yang menjadi bahannya, ditambah dengan suara kompor gas membuat kami tahu bahwa gerobak itu semakin mendekat.
“Teman-teman kita harus siap!” ucap Dion memberi aba-aba.
“Bhas! Bagaimana keadaannya?!” tanya Dion tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.
DI SINI BAIK-BAIK SAJAA! NASI GORENGNYA MAS?! HYA! HA! HA! HA! Jawab sebuah suara dari balik gerobak yang tiba-tiba saja sudah meluncur di sebelah kami.
“SEMUANYA! JALANKAN RENCANA ‘L’! LARIIIIIIIII!” teriak Dion. Kami berlari sekencang-kencangnya.
“Aris! Bhaskara! Cepat!” teriakku.
Aris dan Bhaskara dengan mudah menambah kecepatannya. Kini mereka berdua malah sudah ada di depanku.
“Tunggu dulu! Jangan tinggalkan aku!” teriakku. Sementara gerobak itu masih mengejar kami.
“Apa yang kalian lakukan?!” teriak Dion dan Candra pada Aris dan Bhaskara.
“CEPET!!” teriak Aris dan Bhaskara kepadaku yang mulai kehabisan napas karena ketakutan dan tak bisa berlari secepat mereka.
TWANG! TWANG! TWANG! Suara itu terdengar begitu jelas memekakkan telingaku. Lantas membuatku seperti mendapatkan energi tambahan untuk berlari menyusul Aris dan Bhaskara.
Jadilah pada hari itu kami sampai lebih cepat ke Malang karena berlari semalaman dari Karangkates untuk menghindari seorang, atau, seekor iblis penjual nasi goreng lintas dunia (?)
Sejak saat itu, ketika aku melihat gerobak nasi goreng, aku akan memastikan apakah itu sungguh-sungguh manusia yang berjualan atau bukan.
Ngomong-ngomong guys, jika suatu ketika di malam hari kamu menemui gerobak nasi goreng di pinggir jurang Karangkates tanpa penjual, sebaiknya kamu mengabaikannya. Bisa jadi, itu adalah gerobak yang sama dengan gerobak yang kami temui lima tahun lalu.
Baca juga: