“Astaga! Kamu berpetualang sendiri?!” teriak salah satu anggota perempuan di antara mereka. Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Bukannya itu terlalu berbahaya?!” teriak anggota yang lain lagi.
“Anu.. tapi saya kan masih di rest area ini. Seandainya memang terlalu berbahaya, mungkin akan saya pertimbangan untuk tidak melanjutkannya malam ini.” Jawabku sambil tersenyum ragu. Aku jadi ragu melanjutkan perjalanan juga ketika melihat mereka begitu ketakutan.
“Hei! Hei! Di mana iman kalian? Kita boleh kelihatan sangar, tapi kita kan orang-orang yang taat beribadah!” sahut seorang anggota yang terlihat paling kekar di antara yang lain. Tampak tato terpatri pada lekuk-lekuk ototnya. Membuat kesan bahwa pria ini tak terkalahkan. Namun nasehatnya yang barusan… membuatku begitu segar, semacam ada siraman rohani yang tiba-tiba saja membuatku merasa damai dari ketakutan sebelumnya.
“Iya ya! Benar juga!” sahut seorang yang lain. “Iya! Kita tak perlu takut karena kita selalu berdoa sebelum memulai perjalanan!” timpal yang lain lagi menguatkan.
“Mmm.. mas.. siapa nama mas?” tanya pria kekar nan sangar itu padaku.
“Darman! Darman nama saya. Kalau mas sendiri?” tanyaku dengan semangat membalas keramahan mereka.
“Tarno!” jawabnya sambil menyalamiku dengan genggaman yang begitu kuat. Seolah tuangku tak ada apa-apanya dibanding kekuatannya.
“Mas Darman! Mau berpetualang bersama kami malam ini?” tawarnya dengan tangan terbuka. Melihat anggota lain yang tersenyum dan begitu garang, aku merasa begitu yakin bahwa perjalanan malam ini akan aman dan menyenangkan.
“Tentu saja saya ikut!” tanggapku dengan antusias.
Gemuruh motor salling menjawab satu sama lain. Tidak seperti aku yang hanya dengan motor ‘laki’-ku yang standard. Para petualang ini menggunakan motor gede yang membuatku terheran-heran, mengapa mereka berpetualang begitu jauh dan harus benar-benar melanjutkannya malam ini.
Satu per satu motor gede itu melaju. Aku berada di tengah-tengah mereka. Mereka bagaikan bodyguard dalam perjalananku. Aku merasa ini petualangan yang tak akan pernah terlupakan. Dari kejauhan lampu-lampu motor menyorot hutan yang begitu lebat. Begitu gelap. Bahkan marka jalan pun sulit terlihat dengan penerangan lampu jalan. Tapi lampu-lampu motor mereka, seperti menuntun perjalananku.
Lika demi liku kami temui. Pepohonan di hutan ini tampak begitu tua dan lebat. Tak jarang kutemui pepohonan yang tampak begitu angker dengan berbagai model perpaduan antara lilitan batang dan akarnya. Beberapa seolah membentuk wajah manusia yang menyeramkan. Aku terlarut pada kenampakan hutan ini sampai akhirnya aku baru sadar.
Situasi ini terlalu sunyi.
Ke mana sorak-sorai para petualang macho ini?