‘Namaku Maruta’ adalah bagian dari seri petualangan Awan. Kamu sudah ada di episode delapan. Apa yang terjadi pada Awan setelah seseorang membiusnya? Apakah ia dapat bertahan dan selamat dari ancaman perdagangan manusia?
Baca episode sebelumnya di:
Awan terbangun ketika ia merasakan pening di kepalanya. Apa gerangan yang telah menimpa dirinya.
Samar-samar ia melihat seorang pria paruh baya tampak tersenyum padanya, kemudian bercakap-cakap dengan seorang pria bercadar yang menggendong satu set anak panah dan busurnya. Pria paruh baya itu mengenakan sebuah kacamata yang berulang kali dibetulkan posisinya.
“35.000 Rubi!” setidaknya itulah yang didengar Awan dari pria bercadar tersebut. Sementara pria paruh baya mulai menggosok dagunya.
‘35.000 tentu saja lebih dari cukup untuk menempuh perjalanan ke kota Krissan.’ batin Awan masih setengah sadar.
Pria paruh baya itu kemudian mendekati Awan. Melihatnya dari bawah sampai atas. Memutarinya kemudian berdecak heran.
“Aku rasa 17.000 untuk anak ini cukup!” tawar pria paruh baya itu.
Awan baru menyadari bahwa dirinya tengah diikat kencang dengan tambang. Mulutnya disumpal oleh kain. Dan angka-angka yang mereka sebutkan adalah angka yang dipasangkan pada dirinya. Ia berusaha berontak, namun seseorang menampar kepala Awan dengan keras.
“HEY! Aku rasa itu mengurangi harga anak ini jadi 15.000! Kamu sudah membuatnya cacat sekali lagi.” protes pria paruh baya itu.
“Apa yang kamu maksud?! Anak ini benar-benar segar seperti dugaanmu!” jawab pria bercadar.
“Tidak lagi, dengan memar di beberapa bagian tubuhnya-termasuk kepalanya yang baru saja kamu tampar, dehidrasi, dan.. lubang di punggungnya!” jawab pria paruh baya sambil menunjuk posisi luka Awan tepat dari balik tambang yang tebal. Sementara Awan panik karena kata ‘lubang di punggung’ membuat ia merinding. Sebesar apa lubang itu?
“Tentu saja. Jika kamu membiarkan anak ini lebih lama lagi, aku ragu infeksi di lukanya akan membuat harganya makin turun drastis.” lanjut si pria paruh baya. Awan semakin panik. Infeksi? Seberapa parah lukaku?
“Jangan bercanda! Kami hanya menembaknya dengan jarum kecil!” jawab si pria bercadar.
“Tapi bagaimana kamu bisa menjelaskan perdarahan yang ada di sini?” tanya si pria paruh baya sambil menunjuk tambang yang kini tengah mengalirkan darah.
Awan yang sudah panik maksimal justru semakin panik. Perdarahan? Apa yang terjadi pada lukanya? Sementara Awan menggeliat-geliat kepanikan, dua pria bercadar lain tampak bingung bagaimana mengatasi Awan. Kalau mereka memukul Awan lagi mereka khawatir harganya semakin turun.
Si pria bercadar memeriksa darah yang menembus tambang. Khawatir semakin parah, pria itu berucap, “Terakhir! 19.000!”
“17.500, saya ambil sekarang!” ujar pria paruh baya itu sambil menyodorkan tangannya sebagai tanda kesepakatan.
“Aku tidak membutuhkan tangan kosongmu. Mana Rubi-mu?” protes pria bercadar.
“Nice!” ucap pria paruh baya itu lalu menepuk-nepuk tangannya. Tak lama kemudian datanglah sebuah Android yang melayang sambil membawakan kantung berisi kepingan Rubi. Bentuk fisik mata uang Rubi berupa kepingan-kepingan yang terbuat dari campuran emas-nikel dan berlapiskan warna merah, layaknya Rubi. Bentuknya persis seperti kepingan emas yang biasa ada pada hiasan kucing pembawa keberuntungan, hanya saja ini berwarna merah. Satu keping bernilai 500 Rubi dan bisa dibagi menjadi 5 keping kecil. Pada umumnya kepingan ini akan ditukar di jasa konversi uang digital. Untuk transaksi gelap ini, tentu akan jauh lebih aman jika dengan kepingan Rubi fisik.
Pria bercadar lain kemudian memeriksa keaslian kepingan Rubi yang diserahkan menggunakan sinar pendeteksi emas. Setelah dapat dipastikan keasliannya mereka mengangguk, kemudian menyerahkan Awan pada pria paruh baya tersebut.
“Terima kasih atas pelayanannya!” begitulah yang diucapkan pria paruh baya itu sambil menggiring masuk Awan ke dalam pesawat yang entah sejak kapan sudah ada di tengah hutan.
“Jangan menoleh. Berjalanlah lebih cepat!” bisik pria paruh baya tersebut sambil mendorong Awan.
“Namaku Maruta, dan kini aku adalah tuanmu!”
Bersambung ke:
Baca juga: