“Kau berjanji! Ingat itu?” ujarmu sambil mengacungkan jarimu ke wajahku. Lalu kau mengambil gelas di dapurku. Duduk di sofa merah itu. Menjatuhkan dirimu di atasnya. Membuka botol martini itu dengan paksa-hingga aku yang akhirnya membukakannya untukmu. Lalu menuangnya, dan terus meminumnya tiada henti.
“Kau berjanji tak akan meninggalkanku hingga saatnya hatiku bisa berlabuh lagi..” ujarmu dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu benar perasaanmu, namun aku harus mengambil keputusan yang benar.
“Tapi mengapa kau meninggalkanku ketika aku pun belum pulih?” tanyamu protes terhadap suatu hal yang sudah dapat kutebak itu apa. Kau meneguk kembali segelas martini.
“Aku …” kau terdiam sesaat. “Tanpa kusadari. Aku sepertinya telah jatuh cinta padamu…” inilah kalimat yang paling kutakutkan muncul darimu.
“Namun kau pun hanya mengenalku sesaat.” ujarku berusaha agar kau langsung membenciku saat itu juga.
“Kukira pun begitu.” jawabnya singkat, namun belum selesai. “Tapi mengapa rasa ini jauh lebih sakit dibandingkan yang lalu?” kalimat tanyamu seolah menghujamku. Aku pun tak tahu bagaimana caranya cinta datang begitu cepatnya.
“Apakah ini cinta jika akhirnya aku harus mengkhianatinya, sama ketika mantanmu mengkhianatimu?” tanyaku begitu tulus tanpa bermaksud menciderai hatimu.
“Hmph..” kau mendengus kesal mendengarkan alasanku. Bagaimanapun hatimu makin terluka. Matamu kian memerah. Tampak air-air mata mulai berjatuhan ke pipimu. Kau sudah tak kuat lagi. Lalu meneguk kembali martini yang kau sediakan untuk kepedihanmu sendiri.
“Aku mencintaimu. Dan kau tahu itu.” ujarmu penuh dengan ketulusan, amarah, dan juga kesedihan. Semua tampak dari setiap penggal yang kau ucapkan diselingi dengan isak tangismu. Berjam-jam kemudian hanya terisi oleh isak tangis dan keheningan yang menyesakkan.
Kini kutatap dirimu yang kelelahan bersedih. Namun aku yakin bahwa suatu saat akan ada orang lain yang mampu mencintai lebih dibandingkan diriku.
“Tak perlu kau berkisah sepanjang-lebar itu.” ujarnya sambil melenguh kesakitan pada kepala yang sepertinya masih pusing karena mabuk, lalu menyingkirkan selimut yang menutupinya.
“Aku hanya mabuk. Aku sedang berduka terhadap kesepianku. Itu manusiawi.” ujarnya padaku, lalu mulai beranjak dari tempat tidur. Tanpa sadar, pagi sudah tiba.
“Terima kasih telah membiarkanku beristirahat. Dan meluapkan semuanya padamu.” lanjutnya.
Aku hanya terdiam. Tak sanggup membalas semua yang ia katakan padaku.
“Aku tahu posisimu. Seharusnya aku sadar, sejak awal ini semua salah. Atau.. mungkin ini semua harus terjadi agar kita sama-sama belajar dari kisah ini.” jelasnya padaku tanpa memberiku ruang untuk berbicara lagi.
“Biar kuantar.” aku mendekatinya berusaha membantunya berdiri.
“Tak usah! Aku bisa naik taxi!” ujarnya sambil menepis tanganku. Lalu berjalan menuju pintu keluar.
“Kau tahu sendiri, aku tak begitu tawar alkohol. Minum sedikit saja dapat membuat hatiku berkecamuk. Jangan kau ambil hati tentang semua yang keluar dari mulutku semalam.” jelasnya lagi lalu melangkah keluar.
“Aku baik-baik saja.” katanya tersenyum lalu meninggalkanku.
Entah mengapa aku masih tahu pasti pada saat itu. Semalam bukan karena alkohol kau mengatakan itu semua. Jika itu hanya karena alkohol, mengapa kau masih menangis di sudut jalan ketika meninggalkan rumahku?
Kepada kau yang tengah belajar melupakanku.. tegarlah dalam menemukan kebahagiaanmu.
Baca juga: