“Aku pamit pulang. Terima kasih untuk hari ini.” ucapku datar.
“Lho kenapa dek?” tanyanya kebingungan.
Aku tak menjawab. Aku terus melangkah keluar menuju tempat motorku terparkir.
“Yud! Kamu kenapa?” teriak mbak Inggit.
“Bye mbak!” ucapku lalu memacu motorku kencang meninggalkan sosoknya di belakang.
Entah mengapa perasaanku saat itu juga langsung menghilang entah kemana. Hanya tersisa amarah. Beberapa kali mbak Inggit berusaha meghubungiku. Tapi kemudian aku mengakhirinya dengan memblokir semua komunikasi yang memungkinkan di antara kami. Semua sudah berakhir.
Tapi sekarang, aku di sini. Sendiri. Dalam sendunya hujan yang mulai turun rintik-rintik. Menyadari bahwa tidak memaafkannya membuatku terjebak dalam lingkaran ketidak percayaan dengan mereka yang pernah menjadi kekasihku. Sejak saat itu aku menjadi terlalu serius dengan rahasia. Aku selalu menyelidik siapapun yang berkencan denganku. Intinya, aku tak pernah percaya dengan perempuan manapun hingga akhirnya aku tetap sendiri hingga saat ini.
Baca juga:
Lima tahun telah berlalu. Dan kini aku menatap akun facebooknya yang telah kublokir selama ini. Masih aktifkah? Atau, ini sudah berganti dengan akun lain? Kubuka blokiran yang membatasi kami selama ini. Kulihat linimasanya. Ah, akun ini masih aktif.
Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya.
“Hai mbak, apa kabar?”
Lima menit kutunggu. Lima belas menit tak ada jawaban. Satu jam kemudian, kulihat messenger, ada seseorang yang mengetik. Itu mbak Inggit!
“DEK! Kok kamu hilang? Kamu kemana aja? Aku nyariin tahu!” balasnya.
“Hahaha.. menghilang emang keahlianku mbak!” balasku dengan candaan garing.
“Lagi di Jogja? Bisa ketemu nggak mbak?” pintaku.
Pada akhirnya kami janjian bertemu di cafe kecil di kota. Tak lama setelah aku memilih tempat duduk, mbak Inggit datang. Ia mengenakan pakaian rapi dan manis seperti biasanya. Rambutnya yang dipotong pendek bergaya bob membuatnya tampak lebih muda dari usianya saat ini. Persis seperti ketika aku melihatnya di gereja minggu lalu. Ia tampak lebih kurus, membuatnya sedikit keriput menjelang kepala tiga.
Aku melambai padanya ketika ia menoleh ke arah tempatku duduk. Ia tersenyum lebar dan segera datang. Aku mempersilahkannya memesan menu terlebih dahulu. Sembari menunggu ia merogoh tasnya, kemudian mengeluarkan sebuah gelang.
“Ini dek. Katanya kalau ketemu kamu lagi harus dikembalikan.” ucapnya sambil tertawa kecil. Aku sebenarnya sudah agak lupa perihal apa aku memberikan gelang ini pada mbak Inggit. Aku kemudian menerimanya dengan senang hati tanpa mengungkit masa lalu kami.
Beberapa menit aku hanya diam melihat senyumnya. Ia masih saja cantik.
“Kamu gendutan. Nambah banyak banget ya? Berapa kilo?” tanyanya penasaran memecah keheningan. Lagi-lagi dengan senyum andalannya itu.