Seperti biasa. aku menuliskan hujatan-hujatan yang mampu mewakili amarahku kepada mereka yang menolak untuk menjadi sama. Hampir di setiap kiriman yang ‘mengganggu’ hatiku akan kukomentari.
Dasar tolol!
Dasar kaum sesat!
Kalian semua akan masuk neraka!
Dan kulihat komentarku itu pun mendapatkan tanggapan yang tak kalah seru. Kebanyakan menentangku. Aku heran, bukannya aku justru membuat mereka berpikir bahwa mereka akan masuk surga jika ikut dengan kaumku? Aku rasa aku sudah melakukan hal yang benar. jadi sekalipun mereka menghujtaku, hasratku tak akan pernah berubah.
Seusai kuliah, aku berjalan kaki seperti biasanya. Kuilhat kendaraan berlalu Lalang, tidak ada yang melaju dengan perlahan. Sesekali genangan air yang tersisa saat hujan tadi menyiprat ke dekatku kala pengendara-pengendara bangsat itu tetap melaju dengan kencang tanpa peduli dengan sekitarnya. Aku merasa hakku sebagai penjalan kaki seolah-olah dikesampingkan oleh mereka. Bangsat! Bangsat mereka semua! Tak ada yang mentoleransi kebutuhanku sebagai pejalan kaki!
Baca juga:
Siapa yang menyangka, di tengah perjalananku (yang tidak menyenangkan) itu, ada sesosok yang tengah menantiku di bawah pohon yang rimbun di pinggir jalan itu. Sosok itu tersenyum kepadaku. Seorang yang tak asing wajahnya bagiku. Sosok yang dengan tatapan matanya yang teduh itu mampu membuat langkahku terhenti dan tertegun. Menatap kagum keindahan parasnya. Membuat diriku seketika jatuh cinta begitu saja. Seolah tanpa permisi, jantungku langsung membunyikan genderangnya. Aku tahu perasaan berdebar-debar ini, namun aku tahu pula bahwa aku tak akan mungkin memilikinya. Entah mengapa.
Perempuan itu adalah perempuan dalam mimpiku. Seseorang yang telah-kurasa-marah padaku karena melupakannya. Namun, sampai saat ini pun aku tak pernah mengingat siapa dia dan mengapa saat ini ia ada di hadapanku. Tersenyum begitu hangat. Sekali lagi, angin datang begitu saja ketika ia muncul. Menyibakkan rambutnya. Dan tentu saja dengan nakal sedikit mengangkat gaun putih yang ia kenakan. Pikiran nakalku kusingkirkan jauh-jauh dan sebelum aku mulai berkata-kata, suara lembut terdengar membelai telingaku.
“Hai!” sapanya dengan senyum terindah yang pernah kusaksikan seumur hidupku.
“Ah.. h-h-h-hai juga!” jawabku gugup.
“Apa kabar kamu?” tanyanya dengan ramah.
“Baik. Sangat baik. Maaf..” aku ingin menanyai kejanggalan pada pertemuan ini, tapi..
“Kamu sedang dalam perjalanan pulang bukan? Rumahku searah dengan hunianmu kok. Temani aku ya? Aku takut pulang sendirian.”
Entah mengapa aku tak dapat berkata-kata. Bodohnya lagi, aku mengangguk mengiyakan. Seolah terhipnotis akan bujuk rayu manjanya, aku mempersilahkan dirinya menjadi teman seperjalananku.
Di tengah perjalanan, kami melihat seorang ibu tua yang tengah menjual nasi bungkus. Badannya cukup bungkuk sehingga ketika aku berdiri di hadapannya, tingginya hanya ada sebagatasan perutku saja. Tampaknya dagangannya tidak begitu menghasilkan. Masih banyak nasi bungkus yang tersisa.
“Aku lapar.” rengek perempuan itu.
Aku menatapnya. Hanya diam. Lalu kemudian mengambil dompetku.
“Aku sangat lapar. Jadi tolong belikan 2 untukku dan satu untukmu.” rengeknya lagi.
Aku penasaran apa yang tengah ia lakukan kepadaku sehingga aku memastikan begitu saja apakah isi dompetku cukup untuk membeli 3 bungkus nasi. Tampak selembar uang sepuluh ribu rupiah bersembunyi di dalam dompetku. Seolah-oleh ia tak mau diambil sebagai spesies lembaran uang terakhir yang hidup di dalam dompet bulukku ini.
“Kalau saya beli 3 jadinya berapa nek?” tanyaku.
“Sepuluh ribu aja nak!” jawabnya.
Dugaku ini akan bertotal 15.000. Tapi bagaimana perempuan ini tahu bahwa aku memiliki uang yang cukup untuk membeli 3 bungkus nasi sore ini? Kutatap perempuan itu dengan heran. Masih penuh tanya. Tapi ia hanya membalas tatapan keherananku itu dengan senyum manis.
Kutenteng 3 bungkus nasi dalam satu kantong plastik itu, lalu kami lanjutkan perjalanan pulang. Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Mulai dari apa yang kulakukan saat ini dan mengapa aku begitu menurut padanya? Belum separuh perjalanan, kami bertemu dengan segerombolan orang dengan dandanan berantakan. Sepertinya mereka anak punk. Aku benci dengan anak-anak jalanan. Aku meminta perempuan itu agar bertukar posisi denganku, supaya perempuan ini tak harus berpapasan dengan mereka yang berwujud seram itu. Rasanya aneh tetap berjalan sambil menatap mereka. Mereka balas menatap mataku, tampak kesal, namun aku berlalu begitu saja. Sampai akhirnya kusadari, ada yang hilang dari sisiku.
Perempuan itu justru berhenti di sisi mereka. Mengamat-amati mereka dengan jelas.
Dia cari mati apa?!
“Mereka sedang kesulitan!” teriak perempuan itu padaku.
Penasaran dengan apa yang sebenarnya dilakukan perempuan itu? Baca sambungannya di: Perempuan itu Tak Hanya Aneh, bagi Pria ini Perempuan itu ‘Lebih’ dari Sekedar yang Ia Kira
Baca juga: