Hidup dalam Bayangan
Hari demi hari berlalu, dan Mira merasa hidupnya semakin sempit. Bimo menjadi semakin posesif, setiap tindak-tanduk Mira selalu dipantau dengan penuh curiga. Setiap kali ia menghubungi temannya, Bimo selalu menanyakan siapa yang dihubunginya, mengapa, dan berapa lama. Ketika Mira menjawab dengan sabar, ia hanya menanggapi dengan tatapan tajam, seolah menunggu Mira tersandung kesalahan sekecil apa pun.
“Kamu nggak perlu keluar rumah untuk hal-hal yang nggak penting, Mira. Semuanya sudah ada di sini,” ujar Bimo suatu sore, saat Mira memberitahunya bahwa ia ingin bertemu dengan seorang temannya yang baru pindah ke desa itu.
Mira menggigit bibir, berusaha mengabaikan perasaan tertekan yang mulai mendominasi pikirannya. “Aku cuma ingin bertemu sebentar, Bimo. Aku nggak akan lama,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.
Namun, Bimo hanya menatapnya dengan tajam. “Nggak ada yang penting di luar sana untukmu, kecuali aku. Sudah cukup kita berdua di sini,” jawabnya dengan nada yang tak terbantahkan.
Ketika Mira mencoba mengutarakan keinginannya untuk sekadar bebas bergaul seperti dulu, Bimo mulai menunjukkan sisi yang lebih gelap. Sering kali, dia menatap Mira dengan pandangan yang menakutkan, atau sengaja diam tanpa berbicara berjam-jam, membuat Mira merasa bersalah meskipun tak melakukan kesalahan apa pun.
Lama-lama, Mira mulai merasa ketakutan. Tatapan kosong Bimo dan sikapnya yang tiba-tiba pendiam membuat Mira merasa terjebak di dalam ruangan yang tak memiliki udara. Ia tidak lagi memiliki kebebasan, bahkan untuk sekadar mengunjungi Ani atau teman-temannya.
“Semua orang hanya ingin tahu urusan kita,” kata Bimo suatu malam, suaranya pelan namun menusuk. “Mereka ingin merusak hubungan kita, dan kamu tidak akan berhubungan dengan mereka lagi. Titik.”
Mira menahan napas, mencoba menahan emosi yang bergejolak. Setiap kali ia berusaha melawan, menuntut kebebasan untuk mengatur hidupnya sendiri, Bimo menunjukkan sisi yang semakin tak terkendali. Dia akan marah dengan cara yang dingin, dengan suara rendah yang mengancam, bahkan tak segan merendahkan Mira di dalam rumah mereka sendiri. Dan perlahan-lahan, Mira mulai memahami bahwa apa pun yang dia lakukan, Bimo hanya akan semakin mengencangkan kekangannya.
Mira mulai menyadari bahwa kendali Bimo atas hidupnya semakin kuat dan tak terlihat. Awalnya hanya larangan untuk keluar rumah atau bertemu teman, namun perlahan Bimo juga mulai membatasi akses Mira pada hal-hal yang sangat mendasar—uang, ponsel, bahkan benda-benda kecil yang bisa ia gunakan untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Bimo menyimpan kartu bank Mira di dompetnya, yang selalu dibawanya ke mana-mana. Ketika Mira mencoba membicarakannya, Bimo hanya menjawab dengan tenang, “Aku pegang semua uang kita supaya kamu nggak perlu pusing memikirkan hal-hal kecil itu. Percaya padaku, ini yang terbaik.”
Mira merasa terjebak, tidak bisa menolak atau bahkan bertanya lebih lanjut. Dia tahu setiap percakapan tentang uang atau privasinya akan berakhir dengan Bimo marah besar. Kehilangan akses keuangannya berarti Mira kini sepenuhnya bergantung pada Bimo, dan itu membuatnya semakin merasa terkurung dalam hubungan yang semakin beracun.
Mira juga menyadari bahwa Bimo selalu memeriksa ponselnya. Semua pesan yang masuk, semua panggilan yang dia lakukan, selalu diawasi dengan ketat. Suatu hari, saat Mira mencoba menelepon Ani secara diam-diam, Bimo tiba-tiba muncul di ambang pintu, menatapnya dengan mata yang tajam.
“Kamu nelpon siapa?” tanyanya dengan suara yang dingin, penuh curiga.
Mira segera menutup ponselnya, wajahnya pucat. “Aku cuma mau bilang halo ke Ani, itu saja. Sudah lama nggak ketemu,” jawabnya, mencoba bersikap tenang.
Bimo menggeleng pelan, lalu merebut ponsel itu dari tangannya. “Mulai sekarang, kamu nggak perlu nelpon siapa-siapa. Aku nggak mau ada orang yang ikut campur dalam rumah tangga kita,” katanya sambil memasukkan ponsel itu ke dalam sakunya, menegaskan bahwa kini ia memegang kendali penuh atas segala komunikasi Mira.
Malam itu, Mira duduk di kamar, merasa begitu hampa. Dia tak lagi punya akses pada apa pun di luar dinding rumahnya, dan dia sadar bahwa kebebasan yang ia miliki semakin hari semakin lenyap. Bimo telah berhasil menutup semua jalan keluar baginya, menjadikannya sepenuhnya terperangkap dalam hubungan yang menakutkan ini.