Ki Suko
Altar sudah dibanjiri darah dari tubuh Andi, Raka, dan Wulan yang tak berdaya, angin malam mendadak berhenti. Udara terasa tebal dan berat, dan langit yang tadinya penuh bintang perlahan menjadi gelap, seolah-olah seluruh dunia diselimuti bayangan.
Para warga desa yang berada di sana perlahan-lahan mundur, wajah mereka berubah menjadi lebih pucat. Suara tawa rendah yang seram mulai terdengar dari kegelapan, diikuti dengan suara langkah-langkah pelan namun berat yang seakan berasal dari segala arah. Pohon-pohon di sekitar altar mulai bergetar, merasakan kehadiran sesuatu yang mengerikan.
Dari dalam bayangan, sosok tinggi perlahan-lahan muncul. Saking tinggi dan besarnya, sosok itu membuat pepohanan besar tampak kecil. Kulitnya kelabu, mulutnya lebar, wajahnya penuh keriput. Ketika ia membuka mulutnya, gigi-gigi tajam dan hitam tampak sangat jelas. Dari dalam mulutnya keluar asap. Aromanya seperti tembakau dan sirih. Matanya yang hitam pekat, memandang tajam ke arah Andi, Raka, dan Wulan yang terbaring tak berdaya di hadapannya.
“Inilah Ki Suko. Habislah sudah. Selesailah sudah.” Begitu pikir ketiga pemuda naif yang sudah pasrah ketika melihat kehadiran sosok itu.
Warga desa berlutut, beberapa di antaranya menundukkan kepala sambil bergumam, memohon agar Ki Suko menerima persembahan mereka. Pak Surya berdiri tegak, kemudian melangkah maju, suaranya penuh keyakinan.
“Ki Suko… ini adalah persembahan kami. Terimalah mereka, dan kembalikan kedamaian bagi desa ini,” ujarnya dengan suara penuh penghormatan, meskipun tangannya bergetar.
Sosok Ki Suko berdiri diam, matanya yang hitam dan kelam menatap dalam pada ketiga korban yang terbaring penuh luka di hadapannya. Dengan langkah lambat dan penuh kepastian, ia mendekat, tubuhnya yang kurus dan menjulang menimbulkan bayangan panjang yang tampak menelan cahaya di sekitarnya.
Di altar, Andi, Raka, dan Wulan hanya bisa berbaring dalam keadaan tak berdaya, tubuh mereka diselimuti rasa sakit yang luar biasa. Luka-luka yang mereka alami membuat mereka bahkan tak mampu bergerak sedikit pun. Malam terasa begitu dingin, dan keheningan yang menyelimuti altar hanya dipecahkan oleh suara tawa kecil Ki Suko yang mengerikan. Tampak jelas Ki Suko menikmati setiap ketakutan dan penderitaan yang tergurat di wajah korban-korbannya.
Satu per satu, Ki Suko berdiri di atas mereka, seperti seorang raja yang menikmati persembahannya. Wajahnya mendekat, menghirup aroma ketakutan dan kesakitan yang menguar dari tubuh mereka. Wulan mencoba berdoa, namun lidahnya kelu, suaranya tertahan, seolah Ki Suko telah merenggut seluruh harapan yang tersisa dalam dirinya.
Ki Suko mengangkat kepalanya, menatap warga desa yang mengelilingi altar, memastikan bahwa mereka semua menjadi saksi penderitaan para korban ini. Ia memiringkan kepalanya dengan tatapan puas, lalu mulai dengan Raka.
Ki Suko berdiri di sisi Raka, yang meskipun tahu bahwa usahanya sia-sia, tetap mencoba meronta dan menarik tubuhnya menjauh dari cengkeraman sosok mengerikan ini. Namun, tak ada kekuatan yang tersisa dalam tubuhnya. Wajahnya pucat, napasnya semakin berat, dan keringat bercucuran di dahinya.
Dengan tatapan yang dingin, Ki Suko mengulurkan tangan panjangnya, jari-jarinya yang kurus dan dingin menyentuh dahi Raka. Seketika itu juga, tubuh Raka membeku. Matanya membelalak, terpaku, tanpa bisa lagi berkedip atau melihat apa pun. Warga desa hanya menatap tanpa ekspresi, pemandangan ini adalah bagian dari kewajiban yang tak bisa mereka hindari. Dalam diam, mereka merasakan kepuasan yang tak tersirat di wajah mereka.
Melihat Raka yang kini telah tak bernyawa, Andi mencoba mengumpulkan sisa kekuatannya. Ia merangkak perlahan menjauh dari altar, berusaha menghindar meskipun langkahnya lemah. Namun beberapa warga dengan cepat menahan tubuh Andi yang berusaha merangkak pergi. Mereka menyeretnya kembali ke altar, tangan mereka kuat dan kekar, memastikan bahwa Andi tak akan bisa melarikan diri.
Dengan wajah yang tanpa ampun, Ki Suko mendekati Andi. Ia menunduk, memperhatikan Andi yang masih bernapas terengah-engah, matanya dipenuhi ketakutan yang mendalam. Warga desa membisu, hanya menyaksikan tanpa emosi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanpa ragu, Ki Suko mengangkat tangan kanannya yang berujung dengan kuku panjang dan tajam, lalu menancapkan cakar tersebut ke dada Andi. Darah segar menyembur saat Ki Suko merogoh dada Andi, menarik keluar jantung yang masih berdetak lemah. Andi menjerit tertahan, wajahnya pucat pasi, namun jeritannya terhenti saat nyawanya lenyap, mata yang tadinya penuh ketakutan kini kosong dan tak lagi melihat apa pun.
Wulan, yang menyaksikan semua ini dari samping altar, hanya bisa menjerit ketakutan. Namun, tangannya segera ditahan oleh dua wanita desa, yang membekap mulutnya dengan kasar. Mereka tersenyum dingin, seolah-olah kematian dan ketakutan Wulan adalah bagian dari takdir yang harus diterima.
Ki Suko beralih ke Wulan, tatapannya tajam dan penuh kekejaman. Ia mendekati gadis itu, wajahnya mendekat, lalu mengulurkan tangan ke arah leher Wulan yang gemetar hebat. Tangan Ki Suko mencengkeram leher Wulan dengan kuat, dan perlahan-lahan ia menghentikan napas gadis itu, membiarkan hidupnya memudar secara perlahan. Wulan berusaha meronta, namun setiap detik yang berlalu hanya membuat tubuhnya semakin lemah, hingga akhirnya ia tak lagi bernapas.