Persembahan Warga
Andi, Raka, dan Wulan berlari kembali ke arah balai desa dengan napas terengah-engah dan tubuh gemetar. Malam terasa begitu dingin dan menusuk, dan udara di sekitar mereka seolah-olah berubah, membawa hawa ancaman yang menyebar di seluruh desa. Pikiran mereka masih diselimuti teror, suara-suara mahluk yang tadi mengejar mereka dari balik bayangan terowongan masih bergema di telinga.
Namun begitu mereka kembali ke desa, suasana terasa semakin mencekam. Lampu-lampu di balai desa masih menyala, dan suara riuh-rendah terdengar dari arah balai—bisikan-bisikan warga yang terdengar putus asa dan ketakutan. Andi, Wulan, dan Raka saling memandang, mencoba mengatur napas yang tersengal, lalu dengan ragu-ragu berjalan mendekati balai desa, mengintip dari balik kegelapan.
Di balai desa, warga berkumpul dengan wajah-wajah tegang. Pak Surya berdiri di tengah-tengah mereka, wajahnya serius dan kaku. Warga yang berada di sana tampak gelisah, dan suara-suara kecil penuh keluhan terdengar dari mereka.
“Kambing dan sapi di kandang mulai mati satu per satu, Pak Surya!” keluh seorang warga dengan suara bergetar. “Kalau ini terus terjadi, kita nggak akan bisa makan… semua ternak kita akan mati!”
Seorang wanita paruh baya menahan tangis. “Tadi sore, suami saya tiba-tiba sakit kulit parah, kakinya jadi bengkak, dan sekarang dia nggak bisa jalan sama sekali! Semua ini terjadi sejak tamu-tamu itu datang, Pak! Apa ini pertanda kalau desa kita akan kembali ke masa kelam?”
Pak Surya diam, namun wajahnya menunjukkan ketegangan yang jelas. Sesekali, ia melirik ke arah kerumunan dengan tatapan tak sabar, seakan menunggu seseorang.
“Andi dan teman-temannya sudah mencoba kabur dari sini, meskipun kita sudah memperingatkan mereka,” kata Pak Surya dengan suara dingin. “Kalau mereka menolak menyerahkan diri, maka kutukan Ki Suko akan menghantui kita semua. Tak ada yang bisa menyelamatkan desa ini kecuali mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka!”
Warga mulai bergumam, tatapan mereka kini penuh kebencian dan ketakutan. Seakan-akan harapan terakhir mereka untuk bertahan hidup telah pupus. Satu per satu mereka saling memandang, wajah mereka menunjukkan keputusasaan yang semakin dalam. Tak ada pilihan lain bagi mereka selain berpegang pada tradisi yang telah dipegang teguh selama bertahun-tahun—seseorang, atau lebih baik, mereka semua para pendatang harus menjadi tumbal untuk Ki Suko.
***
Andi, Wulan, dan Raka berniat kabur. Sayang anjing menggonggongi mereka. Menyebabkan salah satu warga melihat mereka. Suasana berubah seketika. Warga desa yang berkumpul mulai menatap mereka dengan tatapan marah dan penuh kecurigaan. Mereka bertiga berlari sekencang mungkin, namun mereka dicegat oleh warga lain yang bisa berlari dengan lebih kencang.
“Kenapa kembali? Gagal kabur lagi?” ejek seorang warga, suaranya penuh kebencian.
Pak Surya mendekati mereka dengan langkah lambat, setiap langkahnya kini bagai ancaman nyata untuk mereka bertiga. Tatapannya tidak lagi ramah seperti sebelumnya. “Sudah berapa kali kalian diperingatkan? Desa ini punya aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja. Karena kalian mencoba kabur, sekarang desa ini mulai menerima kutukannya.”
Andi membuka mulutnya, hendak menjawab, namun seorang pria tua, memotong. “Karena kalian datang, ternak kami mati. Orang-orang mulai sakit. Ini semua ulah kalian! Kalau kalian nggak mau mengorbankan diri, kita semua yang akan menerima balasannya!”
Wulan mengganden erat-erat Andi dan Raka, wajahnya penuh ketakutan. “Pak… kami cuma mau pulang. Kami nggak bermaksud mengganggu.”
Namun suara-suara warga semakin keras, penuh desakan dan kebencian. Seorang wanita tua yang sejak tadi berdiri di sudut balai mulai meratap dengan keras. “Kalau kita nggak menyerahkan mereka pada Ki Suko, kita semua akan binasa! Desa ini akan mati seperti dulu!”
Pak Surya menatap Andi dan teman-temannya dengan mata yang dingin dan putus asa. “Kami telah lama hidup di bawah perlindungan Ki Suko, dan kutukannya hanya bisa dihapus dengan menepati syaratnya. Tak ada yang boleh pergi begitu saja setelah mengucapkan kata ‘betah’. Kalian bertiga… sekarang harus menebus kesalahan itu.”
Andi mencoba menjelaskan, tapi suaranya tenggelam dalam teriakan warga yang mulai mendesak mereka, mengerumuni mereka dengan tangan-tangan kasar. Warga mulai mendorong mereka ke arah gudang tua di ujung desa.
***
Warga desa semakin banyak berkumpul, sebagian besar dari mereka memandang Andi, Wulan, dan Raka dengan tatapan dingin dan penuh kemarahan. Wulan mencoba meronta, tetapi tangan-tangan kasar warga desa menariknya dengan paksa.
“Dasar terkutuk! Kalian semua pendatang laknat! Kalian semua harus menerima akibatnya!” seru salah seorang warga.
Andi dan Raka, yang tubuhnya juga ditahan oleh beberapa warga desa, mencoba melawan. “Kami nggak bersalah! Tolong Pak, Bu! Bebaskan kami! Kami mohon ampun!” teriak Andi.
Sayangnya warga tak mengindahkan teriakan derita mereka. Yang ada mereka justru semakin keras memukuli ketiga pemuda ini. Andi merasa tubuhnya semakin lemas, sementara Raka berusaha melawan dengan sekuat tenaga, tetapi jumlah warga desa terlalu banyak. Tangan-tangan kasar mengikat tubuh mereka, menyeret mereka.
Sementara itu, Wulan, berhasil melepaskan diri. Ia segera berlari menuju hutan, berharap bisa bersembunyi dan menemukan pertolongan. Namun, langkahnya semakin lambat ketika suara bisikan-bisikan aneh mulai terdengar di telinganya.
“Ke mana, Nak? Hihihi… Kenapa pergi? Bukankah kamu sudah betah di sini?”
Suara-suara itu terdengar dari segala arah, membuat Wulan merasa seperti dikelilingi oleh sosok-sosok tak kasat mata yang mengintainya. Ia mencoba menutup telinganya, tapi suara itu semakin jelas, semakin dingin, dan semakin berat, seperti suara seorang kakek tua.
Apakah ini artinya Ki Suko hadir?
***
Di dalam gudang tua yang dingin dan remang, Andi dan Raka berusaha melepaskan diri dari ikatan yang mengikat tangan mereka. Dari luar gudang, terdengar suara warga desa yang berbicara dengan nada tegang dan terancam, seakan-akan mereka sedang menanti sesuatu yang akan datang.
Raka, yang tidak mau menyerah, meronta sekuat tenaga hingga akhirnya berhasil melonggarkan ikatannya. Ia kemudian membebaskan Andi, yang langsung menggenggam tangannya dengan rasa takut yang tak bisa disembunyikan.
“Kita harus keluar dari sini, Raka. Kalau kita pasrah, kita benar-benar akan jadi tumbal Ki Suko,” kata Andi dengan suara bergetar.
Mereka berdua bergerak cepat, berusaha menemukan jalan keluar. Saat itu, mereka mendengar teriakan dari arah hutan—suara Wulan yang penuh ketakutan.
“Kita harus temukan Wulan!” Andi berbisik dengan tegang. Mereka segera keluar dari gudang, menyelinap di antara bayangan-bayangan gelap yang menutupi desa.
Namun, di tengah langkah mereka, suara gemuruh mulai terdengar. Tanah di sekitar mereka bergetar, angin tiba-tiba bertiup kencang, membawa bau busuk yang menusuk hidung.
***
Andi dan Raka berhenti, tubuh mereka bergetar saat melihat tanah di sekitar mereka yang mulai retak, dan suara mengerikan terdengar dari bawah tanah, seperti tawa yang bergema dari dalam bumi.
“Kenapa kabur?” suara seorang kakek tua terdengar dingin dan tajam. Tampaknya kini Ki Suko sedang berbicara langsung kepada mereka. “Kalian semua milikku….”
Angin bertiup semakin kencang, membuat dedaunan beterbangan dan pohon-pohon bergoyang keras. Beberapa bangunan desa mulai bergetar, dan warga yang melihat fenomena itu langsung berteriak ketakutan. Suara jeritan mulai terdengar dari berbagai penjuru, menciptakan suasana kacau yang tak terkendali.
“Pak Surya! Ternak-ternak mati lagi! Mereka semua mati di kandang!” teriak seorang warga dengan panik. Wajah Pak Surya menjadi semakin pucat. Ia berusaha menenangkan warga, namun semua orang mulai berlarian ketakutan, tak lagi peduli pada nasib Andi, Raka, atau bahkan nasib desa itu sendiri.
Di tengah kekacauan itu, Wulan keluar dari hutan, tubuhnya penuh luka, wajahnya pucat seperti mayat. Ia melihat Andi dan Raka yang terhuyung-huyung berlari ke arahnya, namun matanya menunjukkan ketakutan yang mendalam.
“Kita… kita nggak akan pernah keluar dari sini…” bisik Wulan dengan napas yang tersengal-sengal.
Andi menggenggam tangan Wulan erat, berusaha menenangkan dirinya meski dalam hatinya ia tahu bahwa harapan untuk keluar semakin memudar. Kini mereka semua tahu bahwa Ki Suko tak akan berhenti sebelum seseorang menyerah menjadi tumbalnya.
Malam itu, di tengah angin kencang dan gemuruh yang mengguncang desa, Andi, Raka, dan Wulan menyadari satu hal yang pasti: mereka benar-benar terjebak, dan tak ada jalan keluar tanpa memenuhi tuntutan Ki Suko.