Catatan Tua
Saat Pak Surya sedang sibuk dengan urusan warga, Raka dan Toni memutuskan untuk menyelinap ke balai desa. Mereka pernah melihat tumpukan naskah tua di ruang belakang ketika berkeliling seharian kemarin. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temukan, tetapi naluri mereka mengatakan bahwa ada rahasia tersembunyi yang bisa menjelaskan keadaan aneh di desa ini.
Ruangan itu gelap dan berdebu, penuh dengan naskah-naskah tua yang sudah kusam. Mereka mulai memeriksa satu per satu naskah yang tertumpuk rapi, mencoba mencari petunjuk tentang cerita-cerita lama di desa ini. Setelah beberapa lama, Toni membuka sebuah buku dengan halaman yang tampak lebih sering dibaca. Di halaman-halaman tersebut, mereka menemukan cerita tentang bencana yang melanda desa di masa lalu: gagal panen, wabah, dan tanah yang tandus.
Toni membacanya, berusaha memahami maksud dari catatan-catatan yang terasa seperti dongeng, namun menyiratkan peringatan nyata:
“Rumiyin, Desa Mojodadi punika lemah ingkang kebak sangsara. Ngantos ing sawijining dalu, wonten seorang dukun rawuh, nggadhahi janji kasuburan. Nanging, desa punika kapirantos kanthi syarat abot: selagi boten wonten ingkang nyobi ninggalaken desa punika, lemah menika badhé tetedhan lan slamet saking bilahi.
Menawi wonten tiyang pendatang lan ngendika ‘betah’, tiyang punika lajeng kagungan ikatan. Menawi piyambakipun boten saged manggen ing desa punika salawasé, badhé wonten rega ingkang kedah dipun bayar. Desa punika boten saged ngeculaken tiyang punika. Para ingkang mboten purun… badhé dados péranganing desa punika.”
“Ka! Kamu bisa Krama inggil? Tahu nggak artinya ini apa?” tanya Toni sambil menyerahkan catatan itu kepada Raka.
Raka menerima catatan tersebut dari Toni. Sambil mengernyitkan dahi, Raka menerjemahkannya kepada Toni:
“Dahulu, Desa Mojodadi adalah tanah penuh penderitaan. Hingga suatu malam, seorang dukun datang, membawa janji kesuburan. Namun, desa ini terikat pada syarat yang berat: selama tak ada yang mencoba meninggalkan desa, tanah ini akan tetap makmur dan aman dari malapetaka.
Jika ada pendatang, siapa pun yang mengucapkan kata ‘betah’ akan membawa ikatan. Jika ia tidak menetap selamanya, maka ada harga yang harus dibayar. Desa ini tak bisa melepaskannya. Mereka yang menolak… akan menjadi bagian dari desa ini.”
Raka terdiam, merasakan ketakutan yang semakin dalam. Ia menatap Toni yang juga tampak pucat. “Siapa yang bilang betah kemarin?”
“Andi.” jawab Toni datar.
Tanpa berkata-kata lebih lanjut, mereka berdua keluar dari ruangan itu, membawa rasa takut yang sulit dijelaskan.
***
Di halaman balai desa, Andi dan Wulan duduk di bangku kayu, serius mendengarkan temuan Toni dan Raka.
Andi mendengarkan dengan cemas. “Ka, menurutmu ini semua karena… kata ‘betah’ itu?” Andi menunduk, penuh rasa bersalah. “Mungkin mereka memang nggak akan biarkan aku pergi.”
Wulan menggigit bibirnya, lalu menatap Andi dengan wajah cemas. “Tapi kalau cuma kamu, kenapa kita semua… terjebak?”
Mereka terdiam, pikiran mereka berkecamuk. Andi tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia merasakan beban besar di hatinya, seolah-olah semua ini terjadi karena satu kata yang ia ucapkan tanpa pikir panjang. Namun, mengapa efek dari kata itu meluas hingga membuat semuanya tampak salah?
***
Beberapa saat kemudian, Pak Surya muncul di halaman, menatap mereka dengan pandangan yang tajam. Wulan dan Andi berdiri, mengamati wajahnya yang tampak muram namun penuh ketegasan.
“Kalian harus mengerti…” kata Pak Surya dengan nada dalam, hampir seperti berbisik. “Ada aturan di desa ini. Dan bagi orang luar yang mengucapkan kata tertentu, satu kata itu bisa mengubah segalanya. Desa ini… hanya bisa hidup ketika syarat itu ditepati.”
Andi terdiam, menyadari bahwa yang ia ucapkan kemarin mungkin lebih berbahaya daripada yang ia duga. Ia merasa ingin bertanya lebih jauh, namun takut akan jawaban yang mungkin diberikan.
Pak Surya melanjutkan, tatapannya dingin. “Mungkin kalian merasa bisa datang dan pergi sesuka hati, tetapi ketahuilah… sekali seseorang di antara kalian mengucapkan kata itu, semuanya berubah. Tak ada yang bisa pergi… selama ikatan itu belum terpenuhi.”
Andi dan Wulan saling berpandangan, pikiran mereka semakin dipenuhi kebingungan. Apakah ini berarti Andi harus tinggal di sini selamanya? Apakah mereka semua tak bisa pergi hanya karena satu kesalahan Andi?
Pak Surya tak memberi mereka penjelasan lebih lanjut. Ia berbalik, meninggalkan mereka yang terdiam dengan perasaan takut dan tak berdaya.
***
Sore itu, saat mereka berjalan melintasi jalan desa, mereka melihat sesuatu yang aneh di sawah yang baru dipanen. Di atas tanah basah, terdapat jejak-jejak kaki besar, dalam dan menyeramkan. Bentuknya tidak beraturan—terlalu besar dan lebar untuk manusia, namun tampak seperti bekas jari-jari panjang dan mencakar yang tajam.
Jejak itu berjalan lurus, namun mendadak hilang di tengah sawah, seperti sesuatu yang sangat besar muncul, lalu lenyap begitu saja. Toni melangkah mendekat, menatap jejak itu dengan ketakutan.
“Ini… bukan jejak manusia…” bisiknya, tubuhnya menggigil.
Andi menatap ke arah jejak tersebut, rasa takut dan rasa bersalah bergolak dalam dirinya. “Apa ini… Ki Suko?”
Raka memandangi jejak kaki itu, mulutnya terkatup rapat, namun rasa ngeri terpancar di wajahnya. “Kalau ini jejaknya… Mahluk seperti apa Ki Suko itu?”
Perasaan mencekam meliputi mereka. Khawatir, takut, tak berdaya menjadi satu. Apa pun yang sedang mengintai mereka, sosok itu nyata dan jelas-jelas menyadari keberadaan mereka.
***
Malamnya, Wulan kembali ke rumah Bu Sari dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia tak bisa menghilangkan ketakutan yang semakin membesar, dan ingin mencari jawaban. Bu Sari menatap Wulan dengan ekspresi muram, seakan mengetahui apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
“Bu, apa benar kami harus tetap di sini?” tanya Wulan dengan suara bergetar.
Bu Sari mengangguk pelan, lalu berbisik, “Siapa yang mengucapkan kata itu, menanggung akibatnya. Tapi, ketika kutukan itu jatuh… siapapun yang bersamanya ikut terseret. Tak ada yang bisa meninggalkan desa ini… tak peduli bagaimanapun situasinya.”
“A-apa maksudnya?” Wulan menahan napas, takut mendengar penjelasan yang lebih dalam.
“Desa ini punya ikatan yang tak boleh dilanggar, Nak,” ujar Bu Sari, matanya penuh kesedihan. “Siapa pun yang datang bersama orang yang telah melanggar, terjebak pula oleh nasib yang sama. Tak ada yang bisa kembali, sampai ada yang menjadi bagian dari desa ini. Jika tidak, semua yang kau lihat di sini… akan berubah menjadi malapetaka.”
Wulan tercekat, perasaan takut melumpuhkannya. Satu kata sederhana yang diucapkan Andi kini telah membelit mereka semua dalam perjanjian yang tak pernah mereka inginkan.