Misteri Pantangan “Aku Betah di Desa Ini”

Aku Betah di Desa Ini!

Setelah beristirahat sejenak di gubug dekat balai desa, Andi dan kawan-kawan segera diajak oleh Pak Surya untuk melihat kehidupan sehari-hari warga. Mereka tidak berencana lama-lama, jadi Pak Surya langsung membawa mereka berkeliling desa, memperkenalkan para warga yang terlihat antusias menyambut tamu dari kota.

“Ayo, kita langsung ke peternakan! Biar kalian bisa lihat bagaimana cara kami memerah susu,” kata Pak Surya dengan senyum ramah, mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya.

Desa Mojodadi tampak sederhana dan tenang. Rumah-rumah kayu berdiri berderet di sepanjang jalan utama, dan pekarangan rumah dipenuhi tanaman hijau yang tumbuh rapi. Penduduk menyapa mereka dengan ramah, beberapa bahkan tertawa kecil melihat antusiasme Andi dan teman-temannya.

Saat mereka tiba di kandang sapi, seorang pria tua yang mengenakan caping besar menyambut mereka. Pak Darto, begitu Pak Surya memperkenalkannya, adalah salah satu peternak di desa. Ia tampak senang menunjukkan cara memerah susu kepada Andi.

“Begini caranya, Nak. Jangan terlalu kuat, santai saja. Sapi-sapi kami jinak, tapi mereka peka kalau ada yang canggung,” ucap Pak Darto sambil tersenyum.

Andi mencoba memerah susu sambil tertawa, dan warga desa yang ada di sekitar ikut tertawa kecil, merasa terhibur oleh antusiasme para tamu. Namun, Wulan, yang berada di dekat kandang, melihat seorang wanita tua menatap mereka dari kejauhan dengan ekspresi serius. Pandangan wanita itu cepat dialihkan saat Wulan menyadarinya, tetapi ada kesan seolah-olah ia sedang mengamati mereka dengan cermat.

Setelah itu, Pak Surya membawa mereka menuju kebun sayur di pinggir desa, di mana Wulan dan Toni belajar cara memanen sayuran dari ibu-ibu desa. Bu Sari, salah seorang ibu yang membantu mereka, sesekali menatap mereka sambil tersenyum kecil.

“Desa ini sudah lama sekali tenang dan tentram,” ucap Bu Sari sambil memasukkan sayuran ke keranjang. “Warga di sini jarang sekali ke luar desa, dan rasanya… kami memang sudah cukup di sini.”

“Kalian nggak pernah keluar desa, Bu?” tanya Toni, terkejut.

“Oh, ada saja yang sesekali pergi ke kota untuk belanja kebutuhan,” jawab Bu Sari sambil tersenyum tipis. “Tapi… tidak pernah jauh. Kami tidak berani. Desa ini sudah seperti dunia kami sendiri, dan kami merasa nyaman di sini.”

Nada bicara Bu Sari terasa pelan dan sedikit muram, seperti ada beban yang tak terlihat dalam ucapannya. Wulan yang mendengar itu mulai merasa sedikit ganjil, tapi dia menepisnya dan tersenyum sopan.

Hari mulai sore ketika Pak Surya membawa mereka kembali ke balai desa. Matahari yang tadinya cerah kini mulai condong ke barat, menyisakan bayangan panjang yang merayap di antara rumah-rumah. Warga desa satu per satu kembali ke rumah masing-masing, namun beberapa di antaranya masih memandang mereka dari kejauhan, senyum mereka tampak ramah namun terasa… tidak wajar.

“Aku nggak nyangka kegiatan desa bisa seseru ini,” ucap Andi, bersandar di tiang balai desa. “Orang-orangnya ramah, suasananya sejuk, dan makanannya enak. Pokoknya… aku betah di sini!”

Andi tertawa kecil, tapi ucapan itu membuat Pak Surya mendadak terdiam. Senyum yang tadinya menghiasi wajahnya perlahan menghilang, dan ia menatap Andi dengan pandangan aneh, meskipun senyum kecil tetap berusaha dipertahankan.

“Oh, bagus kalau kalian suka,” jawab Pak Surya pelan, nadanya terdengar bergetar tipis. “Tapi… mungkin lebih baik kalian tidak terlalu betah. Desa ini… bukan tempat untuk berlama-lama bagi orang luar.”

Toni melirik Pak Surya, merasa sedikit bingung. “Maksud Bapak? Kan, kami juga nggak akan nginap. Setelah selesai istirahat, kami langsung pulang.”

Pak Surya tampak ragu, lalu kembali tersenyum samar. “Ah, iya… iya. Hanya mengingatkan saja. Terkadang, desa ini bisa membuat para tamu… terlena. Semoga kalian tidak terlalu nyaman, ya?” 

Andi mengernyit, merasa sedikit aneh dengan ucapan Pak Surya, tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Sementara mereka berbincang, angin tiba-tiba berhembus kencang dari arah hutan, menerbangkan daun-daun kering dan menimbulkan suara gemerisik yang aneh di antara pepohonan. Langit yang tadinya cerah berubah mendung, awan gelap bergulung di atas desa dalam hitungan detik, dan suhu udara terasa semakin dingin.

“Eh, kok tiba-tiba jadi mendung gini?” tanya Raka, melihat langit yang menghitam dengan cepat.

Pak Surya hanya menghela napas panjang, lalu melirik mereka satu per satu. “Cuaca di desa ini… memang sering berubah tanpa diduga. Kadang, ada hal-hal di sini yang tidak sesuai dengan perkiraan.”

Saat itu terdengar suara keras dari arah jalan masuk desa. Andi dan Toni yang penasaran langsung melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi, diikuti Wulan dan Raka yang menahan napas. Di kejauhan, mereka melihat jalan utama menuju desa tertutup oleh longsoran tanah dan batu besar yang baru saja jatuh dari lereng.

“Sayang sekali, sepertinya kalian akan terpaksa menginap di sini malam ini,” ucap Pak Surya sambil menatap longsoran itu dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Mobil kalian tidak akan bisa lewat. Berjalan kaki pun sepertinya tidak mungkin untuk kalian. Mungkin, besok pagi jalannya sudah bisa dibersihkan.”

Wulan menggigit bibirnya. “Bapak yakin kita bisa pergi besok pagi?”

Pak Surya menatapnya sesaat, lalu tersenyum tipis. “Ya… kalau Ki Suko mengizinkan,” gumamnya perlahan.

“Ki Suko?” tanya Toni dengan alis berkerut, tapi Pak Surya hanya mengangguk singkat.

“Ah, sosok gaib yang konon menjaga desa ini sejak zaman leluhur. Nama yang kami sebut kalau cuaca buruk, atau… saat ada tamu,” jawabnya sambil tersenyum tipis, seakan menyadari bahwa kalimatnya mengundang rasa penasaran.

Mereka semua saling berpandangan dengan ekspresi bingung. Pak Surya lantas menepuk bahu Andi sambil tersenyum lagi, mencoba mengusir kecanggungan yang tercipta.

“Tenang saja. Ini hanya cerita zaman dulu. Kalian bisa istirahat dulu di gubug yang tadi kami siapkan. Siapa tahu, besok cuaca sudah lebih baik, dan jalan pun terbuka.”

Namun, meski kata-katanya terdengar menenangkan, ada niat samar di wajah Pak Surya yang tak luput dari perhatian mereka. Sambil mengikuti langkah Pak Surya kembali ke gubug, Andi dan kawan-kawannya mulai merasakan perasaan aneh, seolah-olah mereka sedang dihadapkan pada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang hanya diketahui oleh penduduk desa.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!