Andi duduk di kursi depan, satu tangannya mencengkeram handle pintu bagian atas sementara tangan lainnya meremas sabuk pengaman. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat, melintasi jalan sempit berkelok-kelok dengan tebing di satu sisi dan jurang dalam di sisi lain. Di belakang kemudi, Toni terlihat serius dan cermat, mengikuti setiap belokan tajam dengan hati-hati meski napasnya berat, seolah-olah sedang memikul beban besar di bahunya.
Dari jok belakang, Wulan bergumam tak nyaman. “Ini jalan atau jalur kematian sih? Baru kali ini aku lihat tikungan-tikungan yang kayak dipelintir.”
Raka, yang duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil berusaha bercanda untuk mengurangi ketegangan. “Tenang, Lan! Setidaknya kalau jatuh, kita langsung sampai bawah… cepat dan nggak sakit.” Tapi gurauannya diikuti dengan pandangan ke luar jendela, memastikan Toni tidak kehilangan kontrol di belokan.
“Kalian serius banget, ya?” Andi menoleh dengan senyum di wajah, meski dia sendiri tak bisa menyembunyikan kegelisahan. “Ini baru pertama kali kita ke desa terpencil. Kita bakal lihat kehidupan asli warga desa di lereng Gunung Andung! Siapa yang berani lewat jalan ini selain kita?”
Toni meliriknya sekilas. “Yakin ini aman? Soalnya, kalau sampai ada yang tahu aku bawa kalian lewat jalan ekstrem kayak gini, bisa-bisa SIM-ku dicabut.”
“Kata Pak Bowo, jalan ini satu-satunya cara ke desa Mojodadi. Ya, kita harus coba, kan?” Andi mencoba memantapkan hati mereka. “Nggak ada yang tahu informasi tentang desa ini, jadi ini peluang besar buat penelitian kita.”
Wulan menghela napas, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. “Ya, ya… Lagipula, mau di kota atau desa, tugas tetap tugas. Nggak akan lari dari kita.”
Perjalanan berlanjut tanpa suara. Di sekitar mereka, pohon-pohon besar berdiri berjejer, membentuk bayang-bayang yang mencekam walau saat itu masih pagi. Matahari yang sebelumnya memancar hangat kini tertutup awan, menciptakan suasana yang dingin dan sedikit suram. Jalan semakin menanjak dan meliuk-liuk di antara pepohonan lebat. Makin jauh mereka melaju, makin sepi dan asing pula pemandangan di sekitar mereka.
Setelah hampir dua jam, akhirnya mereka tiba di sebuah papan kayu yang bertuliskan “Selamat Datang di Desa Mojodadi”. Huruf-hurufnya tampak pudar dan kusam, nyaris terhapus oleh waktu.
“Yak, akhirnya sampai juga! Kamu hebat Ton!” Andi berseru riang, menepuk bahu Toni yang tampak lega bisa menghentikan mobilnya.
Namun Wulan bergidik. “Sepi ya? Tenang. Tapi.. merinding…”
Raka mengangkat handphonenya tinggi-tingi, “Tidak ada sinyal. Kalian juga?” Toni, Andi, dan Wulan bersamaan memeriksa handphone, lalu mengangguk.
Andi tertawa kecil. “Ini desa terpencil. Penduduknya nggak banyak. Wajar kalau kesannya sepi dan asing.”
Mereka keluar dari mobil dan mulai mengamati sekeliling. Udara di Mojodadi begitu sejuk dan bersih, jauh berbeda dari suasana perkotaan. Desanya kecil, dengan beberapa rumah kayu yang berjejer rapi di sepanjang jalan utama yang sempit. Hanya ada beberapa orang yang tampak berjalan di sekitar, dan semuanya mengenakan pakaian sederhana. Mereka melihat ke arah Andi dan teman-temannya dengan tatapan heran dan takzim, seperti menyambut tamu istimewa yang jarang datang.
Saat itulah seorang lelaki paruh baya berwajah tenang dengan kulit terbakar matahari menghampiri mereka. Lelaki itu tersenyum lebar sambil mengangguk hormat.
“Selamat datang di Mojodadi, anak-anak muda. Saya Pak Surya, kepala desa di sini,” katanya ramah.
Andi dan teman-temannya membalas salam dengan antusias. “Terima kasih, Pak Surya. Saya Andi, ini Toni, Wulan, dan Raka,” ucap Andi sambil memperkenalkan diri mereka satu per satu.
Pak Surya menatap mereka satu per satu dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. “Senang sekali melihat anak-anak kota mau jauh-jauh datang ke desa kami. Kehidupan di sini memang sederhana, tapi semoga kalian betah, ya?”
Saat kalimat itu diucapkan, Wulan merasakan sesuatu yang aneh. Tatapan Pak Surya seolah memiliki kedalaman tertentu yang sulit diartikan, seakan menyimpan rahasia di balik senyuman ramahnya. Namun, Wulan segera menepis pikirannya dan menebarkan senyum sebagai balasan.
“Terima kasih, Pak. Kami senang bisa dapat kesempatan untuk belajar langsung dari desa yang masih asri dan alami seperti Mojodadi ini,” jawab Wulan dengan sopan.
Pak Surya tertawa kecil, lalu melambaikan tangan ke arah beberapa penduduk desa yang mendekat. “Mari, kalian ikut saya!.”
Andi dan teman-temannya mengikuti langkah Pak Surya menyusuri jalan kecil berkerikil yang membelah desa. Sambil berjalan, mereka mengamati rumah-rumah kayu yang berjejer, dengan halaman yang ditanami sayuran dan bunga-bunga liar. Sesekali, anak-anak desa berlarian melewati mereka sambil tertawa dan mengamati mereka dengan rasa penasaran.
“Kalian beruntung datang saat cuaca cerah,” ucap Pak Surya. “Tapi jangan kaget kalau tiba-tiba berubah. Di sini, cuaca bisa berubah 180 derajat secara tiba-tiba.”
Toni mengangguk sambil sesekali melihat langit yang mulai berawan. “Cuaca pegunungan memang sering nggak bisa ditebak, ya, Pak?”
Pak Surya hanya mengangguk tipis, sementara mereka terus berjalan menuju balai desa. Raka mulai melirik-lirik ke arah jalan yang semakin sepi dan menanjak menuju hutan di belakang desa.
Begitu tiba di gubug dekat balai desa, Pak Surya membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk. “Ini ruang untuk kalian beristirahat. Anggap saja rumah sendiri!”
Keempat pemuda ini terperana melihat gubug yang diatur sedemikian rupa sehingga tampak seperti kamar villa untuk menginap. Kasur sudah tertata rapi. Ruangannya sangat bersih dan wangi.
Andi tersenyum lebar sambil melihat sekeliling. “Wah, nyaman juga, Pak! Saya tidak menyangka kalau warga sudah menyiapkan seniat ini. Padahal kami tidak berencana menginap.”
Wajah Pak Surya mendadak menegang. Namun, ia segera menguasai dirinya dan tersenyum lagi, meski wajahnya tampak sedikit lebih pucat dari sebelumnya. “Kami selalu mempersiapkan yang terbaik untuk para tamu. Setelah ini, kalian bebas berkeliling. Kalau butuh apa-apa, panggil saja saya.”
Wulan merasa ada yang tidak beres, namun ia memutuskan untuk menahan diri. Mereka semua berterima kasih kepada Pak Surya sebelum beliau pamit meninggalkan mereka.
Begitu pintu tertutup, Raka menghela napas panjang. “Serius, aku ngerasa desa ini agak… gimana ya… seram, tapi nggak bisa dijelaskan.”
Andi tertawa. “Ah, kamu ini. Ini kan desa di pegunungan, wajar aja kalau suasananya beda dari kota. Aku malah excited! Bayangkan kita bisa ikut kerja bareng warga desa, betapa serunya!”
Namun, Wulan masih terdiam, menatap keluar jendela gubug, memperhatikan bayangan pepohonan yang bergoyang ditiup angin. Bayangan itu tampak gelap, bergerak seperti sosok yang mengawasi mereka dari balik pepohonan.
“Jangan terlalu yakin, Ndi,” gumam Wulan pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri.