Sampai tiba-tiba, seorang tukang galon tetangga kami, sebut saja namanya Pak Mul, datang ke gereja menggunakan motor dengan Tian membonceng di belakang.
“Kula nuwun? Niki putrane sinten, njih?” (Permisi, ini anak siapa ya?). Tanya Pak Mul pada seorang ibu yang masih menghitung uang parkir di depan gereja.
Melihat Tian yang ada di boncengan, berteriaklah ibu ini kepada Ibuku yang baru saja beristirahat setelah lelah berputar-putar. “BUU!! NIKI PUTUNE SAMPUN KETEMU!” (BUU! INI CUCUNYA SUDAH KETEMU!)
Berlarilah Ibuku ke depan gereja. Ditariknyalah Tian dan dicubit tangannya, “Kamu ini ke mana aja sih?! Kamu ngerepotin Uti sama Akung tahu?!” Tian tidak bereaksi.
“Ampun Bu! Ampun ditangani! Ingkang penting sampun ketemu!” (Sudah Bu! Jangan dikasari! Yang penting sudah ketemu!). Cegah Pak Mul pada Ibuku supaya berhenti menyakiti Tian.
Ibuku langsung berhenti mencubiti Tian. Sadar kalau perbuatannya salah. “Maaf tadi ketemunya di mana ya pak?” tanya Ibuku.
“Niku, cerak kalen Bu.” (Di situ, dekat kali Bu) jelas pak Mul menjelaskan sambil menunjuk kali yang ada 500 meter jauhnya dari gereja. Lemaslah Ibuku mendengar itu. Bersyukur karena tidak terjadi apa-apa pada Tian.
Malam itu jadi malam terakhir bagi Bapak-Ibuku untuk mengajak Tian keluar lagi. Jauh di dalam hati Bapak-Ibuku mereka menyesal. Berjanji di dalam hati, karena sudah tua, sudah tidak awas lagi, sebaiknya tidak membawa cucunya berjalan-jalan ke luar rumah bertiga saja.