Aku menjawab seperlunya. Tak lama secangkir espresso dan arabica datang ke meja kami.
“Mbak..” aku memulai percakapan untuk pertama kalinya.
“Dek..” balasnya dengan senyum menggoda.
“Maafkan aku.” ucapku dengan kalimat singkat dan napas tertahan. Kini senyumnya mulai berganti dengan raut muka yang serius. Jika sudah begini, ia akan berhenti berkomentar dan mulai menjadi pendengar yang baik. Ini yang membuatku begitu nyaman dengannya.
“Aku minta maaf. Kalau aku kurang jujur dan tegas mengenai pernyataanku dulu.” lanjutku.
“Sesungguhnya dulu aku benar-benar sayang dengan mbak Inggit. Tapi bukan sebagai seorang kakak perempuan. Aku melihatmu sebagai seorang perempuan yang layak kucintai.” berbeda dengan dulu yang terbata-bata ketika mengungkapkan perasaanku. Kini jauh lebih mudah mengungkapkan perasaan yang dulu pernah ada.
Mbak Inggit merasa tak percaya dengan apa yang kukatakan. “Aku pergi karena aku marah sama mbak ketika mbak jujur tentang hubungan yang mbak jalin dengan kekasih mbak. Maafkan karena aku pergi tanpa alasan.” lanjutku.
Kini Mbak Inggit menghela napas panjang. Aku hanya diam tak tak berani menatapnya.
“Kamu bodoh Yud!” ucap mbak Inggit. Aku terkejut mendengar tanggapan pertamanya justru menyatakan kalau aku bodoh.
“Sebenarnya aku.. aku juga mencintaimu.” jelasnya.
Aku hendak bertanya, kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu malah menjain hubungan dengan orang lain. Tapi ia sudah berucap terlebih dahulu.
“Aku merasa tak pantas bersamamu. Usia kita terpaut cukup jauh…
“Seandainya kamu yang lebih tua dibandingkan aku. Itu akan lebih mudah. Tapi aku perempuan. Aku tak sampai hati membuatmu jatuh cinta padaku terlalu jauh. Kamu layak mendapatkan seseorang yang tak menua lebih dulu ketika hari tuamu nanti. Kamu layak mendapatkan seseorang yang tak harus meninggalkanmu terlebih dahulu jika saatnya nanti telah tiba.
“Harus kuakui hatiku pun hancur ketika mengetahui kamu pergi. Yud, aku benar-benar mencarimu untuk menyampaikan ini..
“Aku benar-benar minta maaf dengan caraku yang seolah mempermainkanmu. Tapi… aku benar-benar mencintaimu.”
Kalimat terakhirnya membuatku tak mampu berkata-kata. Aku tak pernah menyangka Mbak Inggit pun menaruh perasaan yang begitu dalam padaku. Namun aku justru tak menyadarinya. Saat itu aku masih seorang bocah, yang tak memahami makna cinta sebenarnya.
Benar kalanya cinta tak harus memiliki, dan Mbak Inggit memilih membuatku bebas dengan cara yang diyakininya tepat.