Di tengah hutan yang lebat dan rimbun, seekor anak burung hantu bernama Haku sering kali hinggap di cabang pohon, berkukuk sekuat tenaga. Haku ingin semua hewan tahu bahwa dia sudah bisa berkukuk dengan keras dan rendah.
Saudaranya, Hiki, yang mendengar kukukan Haku, mendekat dan bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan, Haku?”
“Lihat ini, Hiki!” jawab Haku dengan penuh semangat. “Aku bisa berkukuk dengan keras dan rendah sekarang!”
Hiki menatap Haku dengan heran, lalu meledak tertawa. Kukukan Haku memang sudah lebih keras, tetapi suaranya masih tinggi dan jauh dari rendah.
“Mengapa kamu tertawa, Hiki?” tanya Haku dengan kesal. “Aku bisa membuat pohon-pohon berguncang dengan kukukanku ini!”
Hiki mencoba menahan tawanya, “Baiklah, buktikan saja.”
Haku, penuh amarah dan keberanian, melompat ke pohon yang lebih tinggi dan mengembuskan napasnya. Semakin tinggi Haku naik, semakin tinggi pohon-pohon di sekelilingnya. Haku menelan ludah, tapi dia tidak mau menyerah. Dia ingin membuktikan bahwa Hiki salah.
Haku mengambil napas dalam-dalam, lalu berkukuk sekuat tenaga. Tetapi, alih-alih pohon berguncang, Haku malah terpelanting ke belakang dan jatuh dari pohon, mendarat di tanah dengan keras. Kepalanya pusing dan paruhnya sakit.
Hiki, mendengar suara keras dari kejauhan, bergegas ke sana dan menemukan Haku tergeletak lemas di tanah. Dia sangat terkejut, tetapi segera membantu Haku bangkit dan merawat paruhnya yang sakit.
“Aku memang tidak bisa membuat pohon berguncang dengan kukukanku, Hiki,” kata Haku dengan suara serak dan penyesalan di matanya. “Aku terlalu sombong dan berpikir bahwa aku lebih hebat dari yang sebenarnya.”
“Yah, semoga ini menjadi pelajaran berharga bagimu, Haku,” kata Hiki dengan lembut. “Kamu masih muda dan memiliki banyak hal untuk dipelajari. Jangan terburu-buru ingin menjadi dewasa.”