Entah mengapa hatiku tak pernah bisa berpaling dari segala kebaikannya padaku. Di tahun ketiga aku menangis. Menyadari bahwa aku tetap sendiri di sini dan masih menunggu jawaban darinya. Tanpa tahu kabar sedikitpun tentangnya.
Hingga akhirnya, Lusi sahabat-yang kuanggap pengkhianat itu-menghubungiku. Tiga tahun. AKu harus menunggu hingga tahun baru ia menghubungiku untuk minta maaf??!
“Bisa kita bertemu sekarang?” ajaknya singkat melalui telepon.
Aku menemui Lusi. Dengan perasaan marah kupendam.
Kebencianku pada Lusi mungkin saja akan tertumpahkan semua pada hari ini. Aku membayangkan berbagai skenario bagaimana aku akan mengumpat Lusi, atau bahkan, menghajarnya. Dengan cara perempuan tentunya: jambak-jambakan.
“Ini.” baru saja aku duduk, Lusi langsung memberikan sebuah kertas catatan kecil kepadaku tanpa banyak berucap.
Kertasnya bertuliskan,
Kamar Flamboyan 305
“Aku sebenarnya dilarang keras untuk memberikan ini.” kata Lusi. Matanya berkaca-kaca. Tampak dirinya menahan tangis. Apakah dia memintaku untuk melabrak mantan kekasihku yang-mungkin-kini juga mengkhianatinya?
“Apa ini?” tanyaku dengan tertawa sinis. “Kukira kamu sedang berbahagia bersamanya sekarang?” tanyaku menuduh.
Lusi terbelalak, masih dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku melihatmu hari itu. Tertawa bersamanya. Belum pernah aku melihatnya tertawa sebegitu bahagianya denganku. Sementara denganmu, ia mampu melepaskan semuanya.
“Apa yang sedang kamu bicarakan, Ti?” tanya Lusi dengan nada setengah tidak percaya. Tampak tidak terima dengan tuduhan yang langsung kulemparkan kepadanya.
“Kamu kan yang merebut dia dari aku? Bisa-bisanya pura-pura bodoh di saat seperti ini!” tanyaku marah.
“Hmph!” Lusi tertawa meremehkan.
“Apaan kamu?” tanyaku emosi.
“Kamu harus tahu kebenarannya.” jawab Lusi.
Setelah itu Lusi mengungkapkan kebenarannya.
Aku langsung bergegas pergi. Berusaha menemukan kekasihku itu. Di kamar yang sudah dituliskan. Aku terus menghitung waktu. Aku terus menghitung tiap detik. Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Aku teringat bagaimana Lusi menirukan kata-kata kekasihku kepadanya,
“Setiap saat bersamanya, aku merasa hidupku sungguh berarti. Aku selalu mengingat kelucuannya. Mengingat kecerobohannya sebagai bagian yang melengkapi kehidupanku. Setiap kali aku mendengar dia mengungkapkan ‘kan ada kamu?’ rasanya…” kemudian kekasihku itu tertawa.
“Rasanya aku tak ingin mati..” lanjutnya.
Rupanya hari itu kekasihku sedang berkonsultasi dengan Lusi yang adalah seorang dokter. Lalu kemudian karena sudah saling kenal, Lusi tak keberatan untuk menemaninya makan bersama dan ia menceritakan perihal perasaannya kepadaku.
Perasaannya tak pernah berubah. Sebagaimana perasaanku padanya.
Baca juga:
“Aku tak ingin hari-hari bersamaku menjadi beban ketika ia harus melanjutkan hidupnya tanpaku.” aku terbayang lagi akan kalimat-kalimat yang ia ungkapkan pada Lusi.
Air mataku tertahan. Jantungku berdegup lebih kencang dibandingkan ketika aku cemburu 3 tahun lalu. Napasku tertahan. Rasanya nyawaku ingin lepas ketika aku sampai terhenti di depan pintu sebuah kamar dengan cat putih yang mendominasi.
Flamboyan nomor 305
Kubuka pintu. Kulihat kekasihku. Terbaring lemah, kurus kering. Rambutnya tak tersisa sehelaipun. Bahkan aku tak menyangka bahwa keadaan fisiknya akan berubah sedemikian drastis. Ia yang dulu tampan, agak tambun, kerap kugoda untuk menurunkan berat badan dengan ancaman aku akan pergi meninggalkannya kalau tidak segera kurus. Kini mungkin ia tak memiliki badan yang ‘berat’ sama sekali. Aku benar-benar berharap yang kulihat di depan mataku ini hanyalah kebohongan belaka. Aku berharap, aku tak pernah meminta dia untuk menguruskan badannya. Aku berharap waktu tiga tahunku yang lalu dikembalikan.
Kutatap ibunya yang tiba-tiba menangis begitu melihatku datang. Aku tak kuasa menahan kesedihan. Air mataku berjatuhan begitu saja. Kami berdua berpelukan. Aku berusaha menegarkan hati, mendekati kekasihku.
“Kalau seandainya aku bisa dilahirkan kembali. Aku akan memilih untuk bersamanya lagi.” terbayang lagi kalimatnya yang disampaikan pada Lusi.
“Dan kemudian aku akan selalu siap, setiap saat, ketika ia mengatakan ‘kan ada kamu?’”
Kulihat kekasihku. Ia membuka matanya perlahan.
“Riyanti?” tanyanya lemas.
“Iya.. aku di sini.” jawabku lalu menggenggam tangannya.
“Syukurlah kamu di sini. Terima kasih. Percayalah, aku mencintaimu.”
…
Tak kusangka. Itulah kalimat terakhir yang kudengar darinya.
“Aku mencintaimu juga.” jawabku. Itulah kata-kataku yang mungkin sudah tak ia dengar lagi. Tak ada lagi yang merindukanku. Tak ada lagi yang begitu gemas mendengarkan suaraku.
Selamat jalan kekasihku …
Baca juga: