Baru saja aku hendak berdiri dan berjalan ke depan sekolah untuk cari becak. Tiba-tiba, derap anak-anak berlari terdengar. Itu teman-temanku yang berlari. Mereka berteriak ketakutan. Di barisan paling depan sendiri tampak Melia yang tadinya berwajah datar, kini terlihat sangat panik. Tiba-tiba dia berlari ke depanku, lalu bertanya, “Aku nggak papa kan? Mataku nggak jadi merah kan?”
Aku hanya menggelengkan kepala. Kulihat di belakangnya, teman-temanku berwajah pucat semua. Mereka terengah-engah dan ketakutan. Aku penasaran, lalu bertanya, “Memangnya kenapa?”
“T-t-t-tadi… telponnya ada yang ngangkat” jawab Melia. Tidak biasa dia mau banyak bicara.
“Terus?” tanyaku lagi.
“Yang jawab.. c-c-c-c-cewek.. “ jawab dia ketakutan.
“Emang dia ngomong apa di telepon?” tanyaku makin penasaran.
“H-h-h-halo? Terus hening gitu.” Jawab Melia.
“Kalian nggak jawab?” tanyaku lagi.
“Ya nggak.” Jawab Melia.
“Pantes hening.” Jawabku sewot.
“Lid.. Traktirannya nggak jadi nggak papa kok..” kata Budi dan Rico.
“Aku mau pamit sama orangtuaku. Siapa tahu aku kenapa-kenapa nantinya.” Lanjut Budi.
“Aku juga.” Begitu pula Rico.
“Maafin aku juga ya temen-temen udah bikin kita dalam masalah.” Kata Lidia setengah menangis. Vero yang hobi mendramatisir sudah penuh dengan air mata sejak Melia bercerita.
Aku merasa aneh memiliki teman-teman seperti ini saat SD dulu. Nyatanya. Tidak ada satu pun dari mereka yang celaka hingga saat ini. Kecuali satu, Melia jadi semakin cerewet sejak saat itu.
Suatu hari, Melia bertanya kepadaku, “Kamu percaya cerita suster gepeng itu?”
“Nggak tahu. Dan nggak mau coba-coba.” Jawabku datar.
“Sayang sekali. Padahal aku ingin badan laki-laki.” Jawabnya sambil tertawa geli.
“Oohh..” jawabku sambil berjalan meninggalkannya.
Mungkin ini jadi cerita misteri yang paling tidak menyeramkan yang pernah aku punya.
Baca juga: