“Kamu sudah berapa lama menguasai daerah itu?” tanya suara bengis di tengah samarnya kegelapan.
Tidak ada seorang pun menjawab. Kelima perampok penguasa hutan itu bungkam bagaikan sekawanan anjing yang takluk di hadapan tuannya.
“JAWAB! SUDAH BERAPA LAMA!” teriak suara itu, kini lebih kuat dengan kharisma kebengisan yang mampu menggetarkan seisi ruangan gelap itu.
Sebelumnya dalam Pria itu Bernama Gamuruh
Di dekat nyala lampu minyak yang temaram, seseorang berucap, “Kira-kira sudah 10 tahun, Gusti!” Setelah kalimat itu terucap, mata keempat pria melotot tertuju pada satu sumber suara. Satu suara yang sudah tentu mencerminkan kebodohan bagi mereka. Kebodohan yang membawa pada petaka.
“SEPULUH TAHUN?!” suara itu semakin meninggi. “Berani-beraninya memberikan jawaban bodoh kepadaku di saat kalian melakukan kesalahan semacam ini!” sahut suara itu sambil mendekati kumpulan perampok itu.
Kini tangannya memerah kuat leher si sumber suara-yang menurutnya bodoh itu. Di angkatnya pengucap itu tinggi-tinggi hanya dengan satu tangan. Kini keempat pria lainnya tampak begitu ketakutan. Bagaimana tidak? Pria bodoh yang sedang meronta itu memiliki tubuh yang cukup kekar dan berat untuk hanya diangkat dengan satu tangan.
Semakin meronta pria itu, hasrat kekejiannya semakin tampak. Diperkuat cengkramannya. Terdengar bunyi tulang-tulang leher yang mulai meninggalkan posisi seharusnya. Otot-otot yang semula tampak begitu kencang dan kuat, seperti kumpulan kapas yang sangat mudah berubah bentuk. Kini pria itu terkulai, dengan kepala yang lebih terkulai daripada tubuhnya sendiri.
Dibuangnyalah pria itu dari cengkramannya. Si bengis itu kini berbalik dari empat pria yang kini tengah menahan kencing karena terlalu ketakutan.
“Biar kuberitahu. Sudah berpuluh-puluh tahun kamu dipercaya menguasai daerah itu.” ujar pria itu, lalu menghentikan langkahnya.
“Ups! Sayang sekali si bodoh itu mati tanpa mengetahui kebenarannya. Atau.. akhirnya di alam barzah kini ia tahu?” ucapnya sambil terkikih seram. “Kalian semua cari informasi tentang pria jahanam itu! Dan tangkap sebelum aku turun tangan, atau kalian akan merasakan akibatnya!”
Gerombolan pria itu kini bubar karena ketakutan.
Baca juga:
Ketinggalan dengan awal mulanya mini-novel ini? Mulai dari sini: Don’t Forget to Remember Me – Part 1
…
Sebuah tongkat dengan cepat diayunkan ke arahku. Aku menghindarinya dengan mudah. Sebuah serangan lainnya yang berasal dari tongkat yang sama bermanuver mengincar kakiku, tapi aku tinggal menjatuhkan diri ke arah kiri, lalu menopang berat tubuhku dengan kedua lenganku dan bersalto ke belakang. Berkali-kali tongkat itu diayunkan, tapi tak satu pun bisa mengenaiku. Aku sendiri bingung, mengapa aku bisa segesit ini. Rasa-rasanya tubuhku tak pernah seperti ini.
Kini giliranku menyerang. Sedari tadi aku memilih untuk bertarung dengan tangan kosong. Lawanku berjumlah tiga orang. Satu di antaranya adalah pemimpin pasukan desa ini. Jelas, kemampuan bertarungnya jauh lebih baik dibandingkan kedua yang lainnya. Maka aku mengincar kedua orang lain yang tak sebanding dengannya. Dengan cepat kuarahkan tendangan lututku menghujam pria yang satu dan kuluruskan kakiku ke belakang untuk melumpuhkan pria satunya. Sementara tanganku sibuk menangkis serangan tongkat dari si pemimpin.
Kedua pria itu lumpuh dengan mudah. Kini aku tinggal berdua dengan Anam. Sebuah nama yang unik. Kurasakan genggaman tangannya yang kuat saat bersalaman denganku. Anam bukanlah petarung biasa. Ia adalah seorang kesatria berpengalaman.
Anam tersenyum padaku. Tampaknya ia menikmati duel ini. Ia juga sepertinya sudah menantikan saat-saat ini sejak 20 menit yang lalu.
Baca juga:
Kami berdua memasang kuda-kuda. Anam kini membuang tongkatnya.
“Untuk apa kamu membuang tongkatmu? Kamu akan kalah!” ujarku mengejek. Entah datang dari mana rasa percaya diri ini.
“Kamu yang akan kalah Gamuruh!” ujar Anam, sama yakinnya denganku.
“Baiklah. Jangan salahkan aku jika kamu harus cedera!” jawabku. Lalu kami berdua melepaskan jurus andalan kami masing-masing.
Anam melakukan serangan jarak jauh dengan kakinya terlebih dahulu. Teknik serangan kakinya begitu cepat. Jauh lebih cepat dibanding saat ia mengayunkan tongkatnya. Padahal, untuk mencapai keseimbangan serangan semacam itu cukup sulit. Ia mengicar tengkukku berulang kali. Berharap ada satu serangan menembus pertahananku.
Aku yang masih terkagum-kagum dengan kemampuan Anam terus memperkuat pertahananku. Sampai akhirnya, aku terjegal oleh sebuah batu. Baru saja Anam akan menghabisiku dengan hujaman kura-kura kakinya, aku langsung mengarahkan tendangan berputarku dari bawah dan kemudian bangkit berdiri. Sementara Anam kini terjembab akibat seranganku.
Anam hanya bisa memanfaatkan peluang itu batinku. Kini aku yang berusaha menyerang Anam. Kuhujamkan tinjuanku langsung pada ulu hati Anam, tapi rupanya Anam menangkap seranganku dan justru membantingku. Cerdas juga! Kini Anam tengah akan meluncurkan jurusnya yang lain. Ia menarik kakiku dan kemudian berusaha memutarku. Wow! Anam sungguh kuat!
Tapi ketika Anam berusaha memutarku, aku langsung mengehntakkan kakiku ke dadanya. Satu poin lagi! Anam terkena seranganku dan terjatuh. Tapi berbeda dengan saat tadi, Anam kini langsung menggunakan kedua tangannya untuk memantulkan dirinya pada tanah dan bangkit berdiri. Kini ia berdiri dengan kuda-kuda yang lebih kuat.
Kini aku merasakan aliran energi yang sangat kuat. Anam sedang menghimpun energinya. Mengatur napasnya. Dan berusaha memahami semua gerak-gerikku. Bagaimanapun, aku memahami, pertarungan ini berjalan semakin serius. Anam tak akan segan mencelakaiku.
Bersambung ke Anam dan Gamuruh
Baca juga: