Anam dan Gamuruh

Anam menahan kedua genggamannya, kemudian berlari dengan cepat ke arahku. Terlalu cepat untuk dilihat. Dan.. BAM! Satu tinjuan keras menghantam wajahku.

Belum selesai aku menyadari sakitnya tinjuan pertama, Anam menghujani tubuhku dengan tinjuan-tinjuan lainnya. Terlalu cepat, hingga aku tidak mampu melihatnya. Sampai akhirnya aku mengambil keputusan gila ini. Ketika ia meluncurkan tinjuannya ke tubuhku, aku mengeraskan otot-ototku dan menahan tangannya. Dengan demikian Anam tak akan mampu menyerangku lagi. Kucoba cara itu! BAM! BAM! BAM! BAM! BAM! Rupanya tinjuan Anam masih berlangsung. Cara ini tak berhasil!

Sebelumnya dalam Bayang-bayang Kegelapan yang Mencekam

“Beginikah kesatria baru bertarung?! Aku jadi sangsi bagaimana kamu bisa melawan para perampok hutan itu!” teriak Anam.

Kamu sangsi?? Aku pun bingung! Tentu saja aku tak mampu membalasnya karena hujan tinjauan Anam.

Kinkin yang sedari tadi melihat pertarungan sengit kami kini berwajah cemas. Aku baru menyadarinya ketika tinjuan Anam beberapa kali membuatku menatap wajah Kinkin yang lucu itu. Tapi aku masih jengkel, mengapa aku berada di sini tanpa ingat siapa aku sebenarnya. Semakin kuat pukulan Anam, semakin jengkel pula diriku.

 

Baca juga:

Ketinggalan dengan awal mulanya mini-novel ini? Mulai dari sini: Don’t Forget to Remember Me – Part 1

 

Menjelang tinjuan Anam yang selanjutnya, dengan cepat aku menepis kedua tangan Anam hingga Anam terjungkir ke udara.

“Mari kita sudahi ini!” ujarku dengan nada marah. Aku tak lagi merasakan sakit tinjuan Anam. Melainkan aku malah menyusul tubuh Anam yang terlempar ke udara. Kemudian menghempaskannya ke bumi, seperti bola voli. Cukup kencang hingga tanah bergetar.

Anam kini tampak tak sadarkan diri. Hampir saja aku benar-benar menghabisinya sebelum akhirnya kepala desa berteriak, “CUKUP! Latihan usai!”

Kedua pria yang tadi ikut bertanding telah sadarkan diri dan membawa Anam keluar dari lapangan. Ibu-ibu desa ikut membantu menidurkan Anam ke tandu. Wajah Kinkin kini menjadi takjub sekaligus takut. Belum pernah Kinkin melihat Anam dihajar dengan cara beringas.

“Gamuruh! Ini hanya pertandingan!” kepala desa memarahiku. “Kamu tak seharusnya menghabisi Anam seperti itu!” yang kubingungkan adalah, bagaimana kalau aku yang babak belur karena tinjuan sakti Anam? Itu cukup menyakitkan!

Kinkin menghampiriku, memberikan saputangannya. “Aneh. Aku yakin sekali kamu tadi babak belur. Kenapa hanya keringat dan tanah yang ada di wajahmu?” ucapan Kinkin itu menyadarkan kepala desa bahwa memang benar, tak ada luka sama sekali pada tubuhku.

“Dari mana kamu berasal nak?” tanya kepala desa dengan ketakutan.

“Saya bukan musuh anda.” jawabku lalu pergi meninggalkan mereka.

“Gamgam!” langkahku kini terhenti karena julukan baru itu.

“Berhenti memanggilku Gamgam!” sahutku, lalu melanjutkan langkahku.

 

Baca juga:

 

 

“Kamu juga memanggilku Kinkin! Apa salahku?”

Kamu tidak salah Kin. Aku hanya jengkel karena tak memahami ini semua.

“Kamu mau kemana Gam?” tanya Kinkin mengejarku.

“Kembali ke hutan. Aku ingin tahu kenapa aku bisa muncul dari situ.” jawabku.

Kinkin kini berlari lebih cepat. Menghalauku.

“Tidak boleh! Kamu tidak boleh ke sana!” larang Kinkin.

Aku hanya diam menatap Kinkin. Lalu menggeser tubuhnya agar tak menghalangi jalanku.

“Gamuruh! Aku serius! Jangan sekarang! Setidaknya kamu di sini dulu sampai semua jelas.” teriak Kinkin. “Perampok itu tak bekerja sendiri. Ketua mereka terkenal bengis dan sadis. Lagipula… Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi.”

“Apa ini rayuan?” tanyaku menggoda. Wajah Kinkin memerah.

“Baiklah, ayo kita kembali ke rumah ayahmu.” ujarku lalu menarik Kinkin.

Kulihat Anam yang kini siuman di pendopo. Ia menatapku. Lalu kemudian memberikan hormat perguruan kepadaku. Aku membalas hormatnya. Lalu masuk ke ruang kepala desa.

“Nak.. sampai mata-mata kami tahu dari mana asalmu dan mengapa kamu bisa berada di hutan itu, kamu tidak diperkenankan untuk kembali ke hutan itu lagi. Ini demi keselamatan seluruh warga desa. Mengerti”

“Baik, Pak!” ucapku mengiyakan dengan mudah.

“Selama masa penantian itu, kamu bisa melayani warga di sini. Menjaga keamanan desa. Kamu punya bakat untuk menjadi pahlawan.” ujar kepala desa.

Aku tak mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya menatap Kinkin. Lalu kemudian menyepakatinya.

 

Bersambung ke Ketika Kegelapan Datang Menyerang

Baca juga:

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!