“Suami saya terkena kanker. Padahal Anton baru saja berusia 3 tahun saat itu. Usia pernikahan kami terlalu muda untuk ditimpa cobaan semacam ini.” Anton berada mengawasi di belakang kursi ibunya. Matanya menunjukkan kalau ia masih nggak percaya denganku.
“Ah maaf! Saya tidak sopan karena belum mengetahui nama Mas. Mas namanya siapa?” tanya Ruri lembut.
Sebelumnya dalam Aku dan Pahlawan Kecilnya
“Oh.. aku? Aku Rendra!” jawabku. “Bisa kita bicara seperti biasa saja? Soalnya aku agak canggung kalau kamu jadi terlalu sopan.” jelasku.
Ruri tersenyum. “Nak! Sini! Salim dulu sama Pak Rendra! Orangnya baik kok!” panggil Ruri kepada Anton.
“Nggak mau! Om-nya mencurigakan! Kayak modus!” Hei! Belajar ilmu detektif dari mana anak ini!?
“Hush! Nggak boleh gitu! Pak Rendra udah nolongin mama lho!” ujar Ruri.
“Tetep aja mencurigakan!” teriak Anton lagi. Tapi intuisi Anton memang tepat.
“Maafkan saya mas.” ucap Ruri sambil tersenyum malu.
“Nggak usah minta maaf. Namanya juga anak-anak.” ucapku.
“Saya..” lanjut Ruri.
“’Aku.’ Coba gunakan ‘aku’ saja!” potongku. Ruri tersenyum geli karena aku mengkoreksi gaya bicaranya.
Aku baru menyadarinya, Ruri tampak begitu cantik, bahkan tanpa make-up sekalipun. Aku nggak tahu, haruskah aku melonjak kegirangan karena mengetahui suaminya sudah meninggal (nggak tahu diri). Ataukah, aku harus ingat pesan Intan tentang restu? Yang pasti, yang Intan maksud adalah anak setan ini! Bukan, itu anak Ruri. Aku nggak boleh gitu.
Kuputuskan untuk mendengarkan semua cerita Ruri pagi itu. Dan tetap.. Anton mengawasi kami tanpa berkedip sedikit pun.
Baca juga
…
“Makasih mas sudah mau nganter.” ucap Ruri dengan senyum termanisnya. Entah mengapa, sejak pagi itu, aku jadi semakin sering mengantar-jemput Ruri. Sudah beberapa bulan kami menjalani hubungan tanpa status ini. Tentu saja, antena Anton tetap dalam posisi siaga-menggigit kalau aku aneh-aneh dengan mamanya. Tapi, terkadang aku merasakan maksud manis Anton yang sangat sayang mamanya.
“Anton sudah pulang?” baru saja aku bertanya, aku merasakan tatapan dengan hawa panas. Rupanya Anton sudah mengintip dari jendela.
“Sebaiknya aku pulang, sudah ada yang mau menggigitku.” ucapku disusul tawa dari Ruri.
“Anton! Pak Rendra pulang! Jaga mamamu!” teriakku. Ruri semakin tertawa mendengarku berkata demikian.
Aku lalu pergi. Malam itu aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah rekan bisnisku. Aku biasa menghabiskan waktu semalam suntuk untuk membicarakan masa depan bisnis atau sekedar mengobrol nggak jelas. Di tengah obrolanku tiba-tiba terdengar suara kentongan dan warga beramai-ramai berlari ke suatu huru-hara. DI saat bersamaan handphoneku berdering. Dari Ruri. Tumben sekali ia menelpon tengah malam seperti ini.
“Halo?” kudengar suara aneh di balik telepon itu.
“Pak! Bapak! Tolong pak!” terdengar suara panik.
“Anton? Kenapa Ton?!” jawabku. Aku mengisyaratkan kepada temanku untuk pergi bersamaku.
“Rumah kebakaran pak. Mama kejebak di dalam! Tolong pak!” teriaknya sambil terisak.
“Iya bapak segera ke sana.” aku berusaha tenang. “Anton sekarang kalau sudah di luar rumah menjauh ya! Minta bantuan warga deket rumah. Bapak sekarang ke sana.” aku bergegas menuju motor bersama temanku. Temanku sangat lihai dalam mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Sayangnya sesampainy di dekat rumah Ruri, motor terhalang oleh kerumunan warga yang tak berkepentingan.
Sialan! Aku berlari kencang menuju rumah Ruri. Kulihat Anton menangis di kerumunan warga yang mengamankannya. Sementara api belum begitu besar, tapi cukup besar untuk membuat asap yang menyesakkan.
“Mama mana?” tanyaku pada Anton dengan cepat.
“Tadi mama lagi di dapur. Terus tiba-tiba terdengar suara ledakan.” ujar Anton sambil terisak.
Aku kini jauh lebih khawatir dibandingkan Anton. Aku mengambil setimba air yang baru saja diambil warga dan menyiramkannya ke seluruh tubuhku. Aku langsung berlari menuju dapur. Melihat Ruri tergeletak di antara bara api.
Bersambung ke Aku dan Pahlawan Kecilnya – end
Baca juga: