“Selamat datang di Indomerit! Selamat berbelanja!”
Dan itu menjadi kali pertama, ketika aku berbelanja di sebuah minimarket, aku benar-benar memperhatikan siapa yang mengucapkan salam itu.
Langkahku terhenti sejenak. Merasa tak yakin dengan semua ini. Kuamati secara lebih teliti. Bulu matanya begitu lentik. Matanya sungguh bulat dan bola matanya begitu memancarkan semangat yang belum pernah kulihat sebelumnya pada seorang kasir minimarket. Warna lipstik yang begitu lembut, cocok dengan wana pipinya yang sudah dibalut oleh pemercantik lain, entah itu bedak atau foundation, atau apapun itu. Rambutnya yang benar-benar berwarna hitam diikat seperti ekor kuda, sedikit menutupi bahunya yang dibalut oleh seragam biru-merah khas minimarket. Senyumnya yang walau sekilas itu, sudah mampu membuat sesuatu di dalam diriku berubah.
Detak jantungku.
Dan waktuku… terasa berjalan lebih lambat.
“Ehem!” seorang bapak berdeham di depanku karena aku berdiang tepat di antara buka’an kedua pintu masuk.
Aku melonjak, bergeser sedikit. Aku merasa sedikit malu ketika tahu bahwa gadis pramuniaga itu tertawa kecil melihat kekonyolanku.
Baca juga:
Aku bergegas beranjak ke bagian minuman dingin. Mengamat-amati mana minuman yang sedang promo. Lalu berbalik, mengamat-amati snack mana yang promo. Terkadang ada informasi promo terselubung yang ada di brosur di kasir (yang jauh lebih menguntungkan juga). Biasanya aku tak akan sungkan memintanya sebelum berbelanja. Tapi entah mengapa, aku merasa terlalu malu untuk mengambilnya, walau hanya sebentar saja… dan demi keselamatan jiwa iritku ini. Hanya sebagai informasi, aku bukanlah orang yang terbatas oleh uang. Aku hanya irit.
Selesai mengambil beberapa snack pilihan dan minuman yang kini juga sudah bergantii mendinginkan lenganku, aku berjalan menuju kasir. Jantungku rasanya bertingkah semakin abnormal. Tidak hanya seperti menabuh genderang, tapi juga seperti orang yang menggedor-gedor pintu kamar mandi karena sudah berada di ujung tanduk.
Dengan setengah tertunduk aku berjalan menuju kasir. Aku sudah membayangkan adegan di mana aku akan ditanyai: ‘sekalian pulsanya kak?’ Lalu aku dengan sigap akan menjawab sambil menggoda, ‘saya lupa nomor saya. Bisa saya misscall nomor mbaknya supaya saya bisa lihat nomor hape saya di hape mbaknya?’. Hmmm.. aku sudah berbunga-bunga membayangkannya sendiri.
“Ada tambahan apa lagi?” sebuah kalimat yang akhirnya membuayarkan lamunanku. Tapi.. ada yang aneh dan aku dengan refleks menjawab:
“Sekalian pulsanya?” Lhoh! Kok malah aku yang menawarkan?! Sementara aku belum selesai terkejut, aku shock ketika menyadari hal aneh yang tadi adalah suara yang jauh lebih berat dari yang kubayangkan. Suara itu adalah suara pramuniaga pria. Sementara gadis pramuniaga yang kutaksir sedang menatapku keheranan dari meja kasir di seberang pemanggangan dimsum. Tatapannya sama herannya dengan kasir pria yang berada di hadapanku ini.
“Mmmm.. iya?? Maksudnya Mas mau beli pulsa?” tanya kasir pria itu dengan ramah sambil menahan tawa gelinya melihat kekonyolanku yang kedua kali di sini.
Lekas-lekas aku membayarkan belanjaanku lalu pergi keluar. Kulihat sekilas, tanda pengenal yang tertempel di dadanya.
RURI
Nama gadis itu.. Ruri.
Aku merasa telah melakukan hal bodoh. Anehnya, kebodohanku berlanjut. Aku akhirnya kerap berbelanja di minimarket itu. Hanya untuk memastikan kapan saja Ruri bertugas. Satu-dua hari mungkin para pramuniaga itu tak akan mengenaliku. Bagaimana dengan 2 minggu berturut-turut?
“Masnya lagi..” ujar salah seorang gadis pramuniaga yang bekerja. “Masnya suka sama Mbak Ruri ya?” tanyanya sambil menata-nata snack di rak.
Aku terkejut. Terheran-heran menatap pramuniaga itu.
Bersambung ke
Baca juga: