Di Balik Pintu yang Tertutup
Mira terdiam selamanya, Bimo berdiri, menarik napas panjang sambil memandang tubuh tak bernyawa istrinya yang terbaring di lantai. Tak ada kepanikan di wajahnya—justru ada ketenangan ganjil, seolah-olah ia merasa bahwa segala sesuatunya kini berada dalam kendali penuh. Dengan gerakan yang tenang, ia mengambil alat pel dari dapur dan mulai membersihkan lantai, menyapu setiap tetesan darah dengan kecekatan yang teliti.
Bimo bekerja dalam sunyi, hanya sesekali terdengar bunyi alat pel yang bergesekan dengan lantai kayu, menghapus jejak kengerian yang baru saja terjadi. Setiap sudut yang terkena darah ia perhatikan dengan seksama, memastikan semuanya kembali tampak seperti semula. Dalam hatinya, Bimo menikmati keheningan ini—sebuah keheningan yang ia ciptakan sendiri, sebuah “ketenangan” yang menurutnya telah ia rebut kembali dari Mira.
Setelah darah benar-benar bersih, ia dengan hati-hati mengangkat tubuh Mira yang lemas dan mendudukkannya di sofa ruang tamu. Ia membetulkan posisi kepala dan tubuhnya, memastikan bahwa Mira tampak seperti seseorang yang sedang duduk termenung di sofa, bukan mayat. Bimo mengatur rambutnya agar menutupi sebagian wajah Mira, menciptakan bayangan yang cukup, hingga siapa pun yang melihat sekilas hanya akan melihat sosok yang duduk diam.
Begitu selesai, Bimo mundur, memandangi pemandangan itu dengan senyum tipis. Tidak ada yang mencurigakan dalam ruangan itu, dan tidak ada tanda-tanda perlawanan—hanya ketenangan. Ia menutup semua tirai, membiarkan kegelapan merambati ruangan. Lalu, dengan tatapan puas, Bimo beranjak menuju kamar, meninggalkan Mira duduk dalam kesunyian yang mencekam.