Kabur!
Rasa terkurung yang semakin menekan membuat Mira akhirnya memutuskan bahwa ia tak bisa tinggal diam. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia memikirkan cara untuk melarikan diri. Di suatu siang yang sepi, saat Bimo keluar untuk belanja kebutuhan sehari-hari, Mira melihat celah.
Dia segera mencari telepon cadangan yang pernah dia sembunyikan jauh di dalam lemari baju. Dengan tangan gemetar, dia menghubungi Ani, satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
“Ani… tolong, aku perlu bantuan,” Mira berbisik di telepon, suaranya bergetar. “Aku… aku nggak tahan lagi. Bimo sudah mengekangku sepenuhnya. Aku butuh keluar dari sini.”
Di seberang, Ani terdiam sesaat, kemudian menjawab dengan suara tegas, “Kamu bisa datang ke rumahku sekarang, Mira. Aku akan bantu kamu, dan kita bisa cari solusi bersama-sama. Jangan khawatir, aku di sini buat kamu.”
Mira menutup telepon dan segera berkemas secepat mungkin, membawa barang-barang penting saja. Dalam kepanikannya, dia terus melirik ke arah pintu, berharap Bimo tidak pulang lebih awal.
Namun, ketika Mira hendak membuka pintu depan, dia mendengar suara mobil Bimo berhenti di depan rumah. Hatinya seolah jatuh ke lantai. Dengan cepat, Mira menyembunyikan tasnya di balik sofa dan mencoba bersikap biasa, meskipun jantungnya berdegup begitu keras.
Pintu terbuka, dan Bimo muncul, membawa kantong belanja. Dia memandang Mira sekilas, tampak mencurigai sesuatu. “Kamu ngapain di sini?” tanyanya dengan nada datar, tetapi sorot matanya penuh kecurigaan.
“Oh… aku cuma beres-beres sedikit,” jawab Mira gugup, berusaha terdengar santai.
Bimo tidak menjawab. Tatapannya turun ke arah lantai, dan matanya menangkap sudut tas Mira yang terselip di balik sofa. Wajahnya segera berubah—ekspresinya tegang, penuh amarah yang tertahan.
“Kamu mau ke mana, Mira?” tanyanya dengan suara dingin, penuh nada ancaman.
Mira hanya bisa terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Dalam hatinya, dia tahu bahwa rencananya telah gagal—dan bahwa Bimo tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Perlahan, Bimo berjalan mendekatinya, tatapan matanya yang tajam menyiratkan ancaman yang menakutkan.
Bimo berdiri hanya beberapa langkah dari Mira, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. Dengan mata yang penuh kecurigaan, ia memandangi Mira seolah-olah dia seorang buronan yang baru tertangkap basah.
“Jadi, kamu sudah merencanakan ini?” gumam Bimo, suaranya rendah namun penuh kemarahan. “Kamu pikir kamu bisa lari dariku? Pergi begitu saja?”
Mira menelan ludah, berusaha menjelaskan, meskipun suaranya terdengar lemah. “Bimo, aku hanya merasa… aku butuh ruang. Kamu terlalu—”
“Diam!” bentak Bimo, matanya semakin menyala-nyala. “Ruang? Apa artinya itu? Ruang untuk apa? Untuk pergi bersama lelaki lain?!” Suaranya semakin tinggi, penuh tuduhan dan kecemburuan yang tak masuk akal.
Mira mundur, takut melihat Bimo dalam keadaan seperti ini. Wajahnya berubah menjadi topeng penuh kebencian yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Ketakutan itu berubah menjadi ketegangan yang semakin mencekik.
“Tidak ada orang lain, Bimo,” Mira berbisik, mencoba meyakinkan. “Aku hanya butuh kebebasan… aku merasa tercekik, aku ingin hidup normal.” Kata-katanya mengalir pelan, penuh harap bahwa Bimo akan mengerti.
Namun, Bimo hanya tertawa kecil, tawa yang dingin dan penuh ejekan. “Hidup normal? Kebebasan?” ucapnya sinis. “Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu apa yang kamu rencanakan. Kamu sudah berencana meninggalkanku, Mira. Mengkhianati aku!”
Kata-katanya seperti cambuk, memukul ketakutan terdalam Mira. Bimo benar-benar yakin pada bayangan kecurigaannya sendiri, dan kini, Mira bisa melihat dengan jelas bahwa tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah keyakinan itu.
Tatapan Bimo berubah gelap, penuh dengan kecemburuan yang telah berkembang menjadi obsesi. “Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi? Kamu salah besar, Mira. Mulai sekarang, aku akan memastikan kamu tidak pernah mencoba hal ini lagi.”
Dia melangkah semakin dekat, tubuhnya yang tegang membuat Mira semakin terpojok ke dinding. Dalam hatinya, Mira sadar bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, ia tak lagi memiliki kendali atas hidupnya.
Langit telah gelap saat Bimo menutup semua tirai di rumah, seolah-olah ingin menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diketahui siapa pun. Suasana di dalam rumah begitu sunyi, namun penuh dengan ketegangan yang pekat. Mira duduk di sofa, napasnya tertahan. Pikirannya terus berputar, mencari jalan keluar dari cengkeraman Bimo yang kini sepenuhnya tak terkendali.
Bimo berjalan mendekatinya dengan langkah pelan, mengamati Mira dengan tatapan dingin yang mengunci pandangan Mira ke dalam ketakutan. Tanpa kata-kata, dia mengeluarkan pisau kecil dari balik kantong celananya dan menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip seringai mengerikan.
“Kamu tahu, Mira…” Bimo berbisik dengan suara rendah, “aku sudah lelah menghadapi semua kepura-puraanmu.” Kata-katanya mengalir dengan dingin, menusuk jauh ke dalam hati Mira. Tatapannya tajam, penuh kemarahan dan kebencian yang telah ia pendam sekian lama.
Mira tercekat, mencoba menenangkan dirinya, tetapi gemetarannya semakin jelas. “Bimo, tolong… kita bisa bicara baik-baik,” katanya, meskipun dia tahu usahanya sia-sia. “Aku nggak mau bertengkar.”
Namun, Bimo hanya mendekatkan pisau itu ke arahnya, mengacungkannya tepat di depan wajah Mira. “Ini bukan tentang bertengkar atau tidak, Mira. Ini tentang kamu yang sudah berani mencoba meninggalkan aku. Kamu tahu aku nggak bisa membiarkan itu terjadi.”
Mira merasakan matanya memanas, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Seluruh tubuhnya menegang, tapi ia tidak berani bergerak. Dalam sekejap, Bimo bergerak cepat dan menekan Mira ke sudut ruangan.
Pisau itu terangkat dan dalam hitungan detik, rasa perih menyebar dari perutnya. Mira menjerit, merasakan panas yang luar biasa dari luka pertama. Bimo menusukkannya lagi, dan lagi, setiap tikaman disertai dengan tatapan penuh dendam yang semakin dalam.
Saat Mira jatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal, pandangannya mulai kabur. Dia mendengar langkah Bimo yang perlahan menjauh, meninggalkannya dalam genangan darah yang kian melebar. Suara-suara menjadi semakin sayup, dan tubuhnya semakin dingin. Dalam pandangan yang kian gelap, bayangan Ani, sosok satu-satunya yang peduli padanya, muncul di benaknya untuk terakhir kali.
Malam yang sepi itu menjadi saksi akhir tragis dari hidup Mira. Keterkungkungan yang dia hadapi tak hanya melenyapkan kebebasannya, tetapi kini juga merenggut nyawanya.