Tidak sulit menemukan ayahku di sore hari. Ia sudah pasti akan duduk santai di kursi kayu favoritnya: kursi kayu yang paling dekat dengan pintu rumah kami di teras, di sisi kanan meja. Ketika matahari sudah akan tenggelam, ia akan menikmati momen ini dengan santai, sambil membaca koran atau novel barunya, dan tentu saja yang tak boleh ditinggalkan: secangkir teh yang dituangkan dari dalam teko tanah liat kesayangannya. Tentu saja cangkirnya dari tanah liat juga.
Teko tanah liat itu begitu sederhana. Tidak terlalu besar, pun tidak terlalu kecil. Hanya ada ukiran samar berbentuk bunga di lambungnya. Tak adda yang spesial dari teko itu. Jika dituangkan semua isinya ke dalam cangkir yang digunakan ayahku, teko itu cukup untuk menyajikan 6 cangkir. Cukup banyak jika dinikmati sendirian.
Baca juga:
Entah sejak kapan ayahku memiliki kebiasaan menikmati matahari terbenam ini. Yang jelas, kata ibuku, sebelum bertemu dengannya, ayah pun kerap bercerita mengenai nikmatnya menikmati teh di saat matahari hendak terbenam. Ayahku mencintai semua momen yang terjadi pada saat itu. Aroma manisnya teh yang telah berpadu dengan tanah liat. Rona jingga warna cerah sore hari. Burung-burung yang kini mulai pulang ke sangkarnya. Lebih menyenangkan jika itu musim kemarau; Garengpung akan dengan ramai membunyikan suara berisiknya-yang entah mengapa-terdengar seperti sapaan dari sore hari kering yang ramah menurut ayah. Jika hujan, ayah akan sedikit sedih karena tak menikmati momen matahari terbenam. Tapi tetap saja, ia akan duduk di teras. Menikmati teh yang diseduh dengan lebih panas. Membaca romansa yang menyedihkan, kemudian sesekali sesenggukan sendiri (Ayahku adalah pria yang berempati tinggi).
Terkadang membelai teko yang tengah menyerap panas di saat angin kencang menerjangnya. Jika badai, ayah akan berduaan dengan tekonya di ruang tamu. Terus melamun tanpa berkedip sedikit pun. Sesekali menengguk teh hangatnya. Sesekali pula menghela napas ketika teh yang diseruputnya tak lagi panas. Momen itu beitu mesra, bahkan aku kerap merasa bahwa tercipta keintiman yang mendalam antara ayah dan teko kesayangannya itu.
“Di situlah segala inspirasinya datang.” ucap Ibu ketika aku menanyai apakah dirinya keberatan dengan kebiasaan ayahku itu.
“Lagi pula, ibu beruntung memiliki suami yang menghabiskan waktu luangnya untuk merenung daripada bermain ke rumah istri orang.” ucapnya lalu tertawa terbahak-bahak.
Memang benar, sedari dulu aku merasa memiliki ayah yang berbeda dari ayah lainnya. Jangankan untuk sekedar keluyuran, Ayahku begitu tak banyak bicara. Ia hanya berbicara kalau perlu atau benar-benar penting. Aku pun tak pernah melihat ayahku mengobrol lama dengan ibuku. Kata ibuku, itu rahasia mereka mengapa mereka bisa memahami satu sama lain tanpa perlu banyak berucap.
Yang jelas, perlu digaris bawahi bahwa sekalipun pendiam, ayahku adalah orang yang amat sangat romantis. Itu sebabnya ia menjadi penulis cerita romantis terkenal dan pencipta puisi-puisi yang indah. Kadang aku tak percaya bahwa ayahku pun mampu membuat hatiku meleleh dengan tulisan-tulisannya.
Pernah suatu ketika. Di saat aku masih kecil. Aku melakukan sebuah kesalahan yang membuatkku ketakutan setengah mati. Aku belum pernah melihat ayahku marah, dan aku takut kalau suatu saat aku menerima amarahnya.