Sementara itu, telinga kiriku dengan peka mendengar sebuah napas yang tersengal-sengal. Seolah-olah itu adalah napas-napas terakhir. Beberapa kali terdengar suara erangan kesakitan. Juga tercium bau tidak sedap yang membauatku ingin muntah. Apa ini? Bau jamban? Bau bangkai? Kuberanikan untuk menengok ke sebelah kiri.
“ASTAGA!” aku berteriak terkejut bukan main. Kulihat seorang kakek tua dengan dada yang sudah dipenuhi belatung terduduk di kursi roda tepat di ambang pintu. Kakek itu melihatku dengan satu matanya. Mata sebelah kirinya sudah berlubang, wajahnya penuh dengan luka. Luka seperti terseret sejauh ratusan meter kah? Tangannya kini berusaha meraihku, aku menghindar dan kemudian muntah.
“HOEKKK!” apa ini? Rasanya begitu amis! Kuamati lagi di bawah temaramnya lampu biru yang aneh. Cairan yang baru saja keluar dari tenggorokanku. Ini bukan muntahan. Ini darah!
Baru saja aku terheran-heran mengamati muntahan (darah)ku dan kemudian berusaha mengabaikannya, ketika aku menatap ke depan sudah ada seorang gadis yang melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Ia berdiri tepat di depan tangga, jalan keluarku satu-satunya.
Ingin aku mengumpat! Tapi ketakutanku jauh lebih besar daripada semua kemarahanku.
Aku terpaku menatapnya. Aku tak sanggup bergerak. Sementara tangannya masih terus melambai-lambai kepadaku. Adegan selanjutnya adalah adegan yang paling tidak kusukai. Gadis itu tersenyum.
Dan benar saja.
Kini wajahnya tepat berada di depan wajahku.
Aku melompat mundur. Tapi siapa yang menyangka bahwa aku ditangkap oleh kakek-kakek ‘bangkai’ yang kini tangannya dengan bahagia menarik-narik tubuhku. Tunggu! Ini bukan hanya tangan kakek itu! Ada lebih banyak lagi tangan yang menguasai tubuhku.
Kemudian semuanya gelap.
“Kenapa anda tidak duduk terlebih dahulu?” ujar seseorang dengan suara yang tak asing lagi bagiku.
Kubuka mataku. Aku tengah tergantung di tengah sebuah ruangan. Aku tahu betul ini adalah ruangan kantorku di hotel. Kulihat seseorang sedang duduk menghadap jendela ruangan. Kursi ‘bos’ kesukaanku diduduki oleh seseorang yang sudah bisa kutebak.
Baca juga:
Masih dalam keadaan temaram, kursi itu perlahan berbalik, menunjukkan sosok yang sudah kuduga.
“KAU?!” ucapku marah.
“Tidak terkejut?” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“Sudah saya sarankan …” lanjutnya. “Tapi mengapa anda tidak mau mendengarkan?”
“Kamar di lantai 3 nomor 9 adalah kamar yang strategis! Tidak terlalu tinggi. Tidak terlalu rendah. Hmm.. belum lagi.. itu angka favorit kami.” Ujarnya dengan senyum yang mengerikan. Wajahnya kini berubah menjadi seperti iblis.
“Tapi, kau bilang kamar itu tidak untuk hal-hal seperti yang kubayangkan!” sahutku tidak terima.
“Yaa.. memang benar! Tidak seperti yang kau bayangkan bukan? Kamar itu untukku.” Dan kini tubuhnya menjadi begitu besar.
Matanya berwarna merah menyala. Mulutnya terbuka begitu lebar dengan taring-taring hitam panjang di dalamnya. Lidahnya tampak seperti lidah ular. Tangannya memiliki kuku-kuku panjang dan tajam bagaikan pisau. Ia telah berubah menjadi iblis seutuhnya.
“Karena kau tidak membangunnya.. bagaimana kalau kau saja yang menjadi kamarku? Seharusnya ini bisa menjadi lebih mudah.” ucapnya dengan nada yang tanpa ekspresi seperti biasanya, tapi bedanya, kini membuatku terbujur kaku.
Hal yang kudengar terakhir kali adalah suara tawanya yang menggelegar.
Konsultanku adalah seekor iblis.
Baca juga: