Sesampainya di hotel, mereka berencana menggunakan lift untuk naik ke lantai sembilan. Anehnya, lift macet. Di saat bersamaan, suasana hotel di larut malam itu lebih mencekam dari biasanya. Tidak ada suara apapun. Sepi begitu saja. Resepsionis juga tak terlihat ketika mereka masuk tadi.
Wicak dan kedua kawannya awalnya takut. Tapi kemudian mereka merasa sedikit lega ketika seseorang datang. Dan orang itu adalah guru mereka. Guru sigap nan bertanggung jawab itu.
Legalah hati mereka. Namun cepat-cepat. Wicak menyadari kejanggalan pada guru teladan itu. Guru itu menggunakan pakaian putih dan sarung khas adat Bali. Ditambah dengan udeng, bunga kamboja kuning yang disisipkan di telinganya, dan sebutir beras di dahinya. Ia mendekat dengan tersenyum ramah. Tapi Wicak yang kritis mulai mewaspadai kejanggalan ini.
Baca juga:
“Kenapa nak?” tanya guru itu dengan ramah.
“Ini pak, kami mau kembali ke kamar. Tapi kok liftnya macet ya?” jawab salah seorang kawannya. Wicak masih diam mencurigai bapak itu.
Tanpa berupaya memeriksanya, guru itu kemudian menjawab, “Hmm.. ya sudah. Kalian naik tangga saja. Masih muda kan? Masih kuat lah ke lantai sembilan.”
Wicak semakin menyadari kejanggalan ini. Tapi tidak demikian dengan kedua temannya. Mereka tidak pernah menyebutkan kalau kamar mereka terletak di lantai sembilan.
Anehnya Wicak juga begitu saja mengikuti kedua kawannya menaiki tangga. Wicak masih mengawasi guru itu. Guru itu tersenyum kepadanya, namun dengan tatapan yang tajam. Lalu ia menoleh ke depan, melihat tangga sudah ada di depannya. Sebuah tangga dengan karpet merah dan penerangan yang amat minim.
Di situ Wicak merasakan sesuatu yang berbeda. Sepertinya ada yang janggal dengan tangga ini. Sejak kapan ada tangga di sini? Wicak memastikan bahwa ia tidak merasakan kejanggalan sendirian. Baru saja ia menoleh, ia terkejut bahwa kedua temannya seperti zombie. Mereka berjalan dengan tatapan kosong. Seolah-olah terhipnotis oleh anak-anak tangga dan mengikutinya begitu saja.
Menyadari kejanggalan ini Wicak berusaha menyadarkan kedua temannya. Tapi baru saja ia akan berusaha, tiba-tiba sebuah kepala yang besar dan menganga turun dengan cepat dari tangga. Hendak menyergap Wicak dan kawan-kawan.
LEAK! ITU LEAK!
Wicak ketakutan setengah mati melihat kedatangan mahluk buas dengan kepala manusia, mata menyala, dan taring yang besar dan tajam itu.
Sambil berteriak Wicak mendorongkan tubuhnya ke kedua temannya itu. Mereka bertiga jatuh. Wicak masih memejamkan mata. Masih takut akan kemungkinan bahwa ada leak yang masih akan menerkamnya dari belakang.
“APA-APAAN INI?” sebuah suara menggelegar. Cukup memekakkan telinga. Tapi justru membuat hati Wicak lega. Itu adalah suara petugas keamanan. Melihat mereka yang bertumpuk bagi petugas keamanan adalah sebuah ‘sisa-kegiatan-mengganggu’ ketenangan tamu lain.
Akhirnya Wicak dan kedua kawannya disuruh menunggu di ruang keamanan sementara guru penanggung jawab dipanggil. Kebetulan, guru yang dipanggil itu adalah guru yang juga membenci mereka, jadi guru itu mengungkapkan bahwa mereka bertiga memang biang kerok di sekolahnya.
Hari study tour berakhir. Tapi hanya Wicak yang satu-satunya tahu:
Bahwa guru teladan kini sudah tak bersama mereka lagi.
Selamanya . . .
Baca juga: