Korban Persembahan
Andi, Wulan, dan Raka, yang sedang bersembunyi di sebuah pondok tua di pinggiran desa, terbangun tiba-tiba oleh suara langkah-langkah berat dan teriakan warga yang mendekat. Mereka melihat kerumunan warga desa yang membawa obor, parang, dan pentungan kayu, wajah mereka terlihat seperti bayangan-bayangan mengerikan dalam kilatan cahaya api.
Dengan panik, mereka mencoba melarikan diri ke hutan, tapi terlalu banyak warga yang mengepung mereka dari segala arah. Ketika Andi dan Raka berusaha berlari, sebuah pukulan keras menghantam kepala Andi dari belakang. Ia terjatuh ke tanah, pandangannya mulai kabur.
Raka berbalik, berusaha membela diri, namun beberapa pria desa dengan kejam mengayunkan cangkul ke kakinya. Pukulan itu mengenai betisnya dengan keras, dan suara tulangnya yang patah terdengar jelas di antara keramaian. Raka menjerit, tubuhnya jatuh ke tanah, dan ia merasakan sakit yang menusuk hingga ke sumsum tulang.
Sementara itu, Wulan meronta saat dua wanita desa menyeretnya dengan kasar. Kedua wanita itu tersenyum dingin, tatapan mata mereka kosong, tanpa belas kasihan sedikit pun. Mereka mencengkeram lengan Wulan dengan kuat, menahannya meskipun ia mencoba melawan.
Dengan keadaan tubuh yang luka dan pingsan, ketiganya dipaksa untuk mengikuti kerumunan warga yang membawanya ke tengah hutan. Di sepanjang perjalanan, hanya kegelapan dan cahaya obor yang menerangi jalan mereka, sementara wajah-wajah penuh kebencian dari warga desa menatap mereka, seolah-olah mereka bukan lagi manusia, melainkan persembahan yang tak lagi bernyawa.
***
Ketika mereka tiba di tengah hutan, suasana terasa semakin mencekam. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah altar tua, dikelilingi pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, dengan bebatuan hitam yang berlumut memenuhi sekelilingnya. Altar itu terbuat dari batu besar, kotor dan penuh bekas darah, seperti telah lama digunakan untuk ritual mengerikan.
Pak Surya berdiri di depan altar, memandangi warga desa yang mulai membentuk lingkaran di sekitar Andi, Raka, dan Wulan. Tatapan warga yang awalnya penuh ketakutan kini berubah menjadi penuh keputusasaan dan kepasrahan, seakan mereka telah kehilangan belas kasih, bahkan terhadap nyawa orang lain.
“Warga desa ini telah lama bergantung pada Ki Suko untuk melindungi kita dari malapetaka,” Pak Surya berbicara dengan suara yang bergema, wajahnya penuh tekad yang dingin. “Dan hari ini, kita akan menyerahkan persembahan yang telah dituntut oleh Ki Suko, agar desa ini tetap hidup dan makmur!”
Beberapa warga mulai membisikkan mantra-mantra kuno, suara mereka begitu rendah dan menyeramkan, sehingga mendengarnya tidak hanya membuat bulu kuduk berdiri, melainkan juga terkencing-kencing. Wajah mereka makin gelap, sihir gelap menguasai mereka. Wulan setengah sadar. Ia meronta, namun tak ada gunanya. Tubuhnya bergetar ketakutan saat menyadari bahwa tidak ada satu pun warga desa yang peduli pada derita mereka.
***
Pak Surya mendekati mereka bertiga, tatapannya dingin tanpa belas kasih. Wulan menangis dan memohon dengan suara parau, namun tak ada satu pun dari mereka yang menoleh. Seorang pria desa menyeret batu besar, kemudian meremukkan kedua tangan Wulan.
Wulan menjerit, tapi Pak Surya hanya memandangnya dengan tatapan dingin. Dengan isyarat dari Pak Surya, seorang warga mengangkat batu itu tinggi-tinggi lalu menghantamkan ke tangan Wulan yang sudah remuk dengan brutal. Terdengar suara tulang retak yang tajam, dan Wulan berteriak histeris, wajahnya dipenuhi air mata dan keringat.
Raka, yang terbaring tak berdaya dengan kaki yang patah, hanya bisa melihat dalam kepedihan yang tak terlukiskan. Matanya dipenuhi air mata, namun tubuhnya tak mampu bergerak untuk menolong Wulan. Di dalam hatinya, ia merasa tak berdaya, tak sanggup melawan kehendak warga yang mengelilinginya.
Andi, yang dipukuli hingga wajahnya bengkak dan penuh darah, hanya bisa mengerang, pandangannya mulai mengabur. Setiap senti tubuhnya terasa sakit, dan ia merasa kekuatannya semakin menipis. Warga desa, yang kehilangan hati nurani mereka, masih saja menghantam Andi dengan pukulan bertubi-tubi hingga wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi.
Suara jerit kesakitan mereka tenggelam dalam nyanyian dan mantra-mantra yang terus diucapkan oleh warga desa. Sebuah pemandangan mengerikan tersaji di depan altar, namun tak ada satu pun dari warga desa yang menunjukkan tanda-tanda belas kasihan. Semua sudah menjadi bagian dari kehendak Ki Suko yang mutlak.