Kabur
Andi, Toni, Raka, dan Wulan duduk di balai desa dengan perasaan tegang. Malam mencekam yang baru saja mereka alami, serta ucapan Pak Surya, membuat mereka semakin resah dan ingin segera meninggalkan Mojodadi. Namun, suasana mendadak berubah ketika beberapa warga desa mulai mendekati mereka satu per satu.
Seorang ibu tua menyapa, menghampiri mereka dengan senyum kecil yang tampak hangat, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya yang terasa tidak nyaman. Ia memandang mereka sejenak, sebelum berkata, “Sepertinya kalian betah di sini, ya? Di desa ini, tenang, nggak ada yang ribut. Apa kalian tidak berpikir untuk tinggal lebih lama, Nak?”
Wulan menelan ludah, hatinya mencelos mendengar kata-kata itu. Tatapan ibu itu terasa terlalu tajam, dan senyumnya yang terlalu ramah malah membuat suasana semakin ganjil.
Tak lama kemudian, beberapa warga lain bergabung. Seorang pria paruh baya mengenakan caping menepuk pundak Raka sambil berkata, “Kehidupan di kota itu keras, Nak. Di sini… segala sesuatu lebih damai, lebih sederhana. Kenapa nggak menetap saja di sini?”
Raka memaksakan senyum, tapi rasa takut yang semakin besar membuat tubuhnya kaku.
Lalu, seorang pria yang datang bersama mereka berkata, “Ah, lebih baik hidup di desa ini daripada… menjadi tumbal Ki Suko.” Namun ia cepat-cepat tertawa kecil. “Maaf, maaf, cuma bercanda.”
Tawa pria itu terdengar hambar dan dingin, tak ada keriangan sama sekali, dan senyumannya justru terlihat seakan ada makna tersembunyi di balik candaan itu.
Andi dan kawan-kawannya saling berpandangan dengan wajah bingung dan ketakutan. Suasana perlahan berubah menjadi ganjil. Mereka mulai merasa bahwa para warga ini seolah-olah benar-benar berharap mereka tetap tinggal… selamanya. Teror yang terasa halus, tapi nyata, perlahan menyusup, membuat mereka merinding.
***
Mereka semua masuk ke gubug, suasana di antara mereka memanas. Ketakutan yang mereka alami semakin mendalam setelah pertemuan dengan warga desa, dan keinginan mereka untuk pulang makin kuat. Toni, yang tak bisa lagi menahan kegelisahannya, menggebrak meja dan berkata dengan nada penuh ketakutan.
“Aku nggak peduli! Kita harus pulang sekarang juga!” katanya panik. “Semakin lama kita di sini, aku semakin merasa… seperti ada yang menjebak kita. Ucapan mereka tadi… mereka benar-benar nggak mau kita pergi!”
Raka, yang juga terlihat panik, mengangguk cepat. “Iya, kita harus kabur malam ini. Kalau kita tetap di sini, mereka bisa saja… memaksa kita untuk tinggal.”
Andi, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh rasa bersalah, hanya menunduk. Ia tahu bahwa ucapannya mungkin telah membawa mereka ke dalam masalah ini, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Toni menatapnya dengan tatapan penuh tuduhan.
“Ini semua karena kamu, Ndi! Kalau kamu nggak bilang ‘betah’, kita pasti sudah bisa keluar dari sini tanpa masalah!” serunya, suaranya bergetar antara marah dan takut.
Wulan, yang duduk di dekat Andi, mencoba menenangkan Toni. “Toni, jangan salahkan Andi. Dia kan nggak tahu waktu itu…”
Namun, Raka memotong dengan suara keras, “Tahu atau nggak, akibatnya kita yang tanggung! Sekarang kita semua terjebak di desa ini!”
Air mata mulai membasahi wajah Wulan. Ia mencoba menyembunyikan wajahnya, tapi isakan kecil terdengar jelas di ruangan itu. “Aku nggak bisa, aku nggak mau tinggal di sini selamanya… Aku kangen Mama dan Papa. Aku nggak mau jadi bagian dari desa ini…”
Keheningan menyelimuti ruangan. Rasa takut, marah, dan keputusasaan memenuhi hati mereka. Akhirnya, Toni berdiri, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat.
“Kita harus pergi. Nggak peduli bagaimana caranya, kita harus cari jalan pulang malam ini juga. Kalau kita nggak mencoba sekarang, mungkin kita benar-benar nggak akan bisa keluar selamanya.”
Andi akhirnya mengangguk pelan, meskipun ia tahu bahwa semua ini bisa saja berbahaya. Dengan hati yang diliputi ketakutan, mereka berempat bersiap untuk meninggalkan desa di tengah malam.
***
Di tengah malam yang gelap, mereka menyelinap keluar dari desa, berharap warga tidak menyadari kepergian mereka. Mereka berjalan di jalan setapak yang menuju keluar desa, berusaha menembus kabut yang semakin tebal dengan bantuan cahaya senter.
“Kabut ini makin tebal…” gumam Raka, suara gemetar. “Seperti ada yang nggak ingin kita keluar dari sini…”
Mereka terus melangkah, tapi Wulan tiba-tiba berhenti, tubuhnya membeku. Ia melihat sesuatu di antara pepohonan—sosok gelap, tinggi, berdiri diam di antara kabut. Wajahnya tak terlihat jelas, namun menatap mereka dengan tajam. Lalu, suara berbisik terdengar di telinganya, dingin dan mengancam.
“Jangan berharap kalian bisa pulang…”
Napas Wulan tercekat. “A-andi… aku dengar suara. Dia bilang kita nggak bisa pulang.”
Andi dan yang lain menoleh ke arah yang ditunjukkan Wulan, namun sosok itu sudah menghilang di balik kabut. Mereka hanya bisa berdiri di sana, merasakan ketakutan yang semakin nyata. Kabut makin pekat, dan hutan seolah-olah menelan mereka.
***
Mereka terus berjalan, meskipun kabut di sekitar mereka makin pekat. Raka tiba-tiba berhenti dengan wajah panik.
“Lihat… Jejak kaki kita… hilang!”
Mereka melihat ke belakang, seharusnya ada jejak kaki mereka di tanah yang basah, tetapi tidak ada bekas apa pun. Tanahnya rata, tanpa jejak yang seharusnya mereka tinggalkan.
“Bagaimana mungkin… jejak kita hilang? Padahal kita baru saja lewat,” gumam Toni, wajahnya semakin pucat.
Andi mengusap wajahnya dengan panik. “Kita seperti nggak pernah benar-benar bergerak. Sepertinya… hutan ini menyesatkan kita.”
Dengan perasaan putus asa, mereka berlari sekencang-kencangnya lurus ke depan, berharap menemukan jalan keluar. Anehnya, ketika mereka melihat cahaya, rupanya mereka kembali ke desa Mojodadi. Karena terpukul dan kelelahan, mereka memutuskan untuk kembali dengan tenang ke gubug. Berharap bisa mencari cara lain esok harinya.
***
Di dalam gubug, tak seorang pun mampu memejamkan mata. Setiap bunyi dari luar terdengar seperti ancaman yang semakin mendekat, membuat ketegangan dalam ruangan semakin tak tertahankan.
Toni berbaring dengan mata terbuka, jantungnya berdegup kencang. Ia mendengar suara gemerisik dari luar jendela, ada sesuatu yang bergerak di balik kaca. Wulan duduk di sudut kamar, tubuhnya gemetar hebat, memeluk lututnya sambil terus menatap jendela dengan ketakutan.
“Andi… apa kamu pikir kita akan bisa keluar dari sini?” bisik Wulan dengan suara lemah.
Andi menatap jendela yang tertutup kabut. Namun, di balik kaca, samar-samar terlihat sebuah wajah kelabu, matanya hitam dan dalam, menatap mereka dari luar. Wajah itu diam, namun tatapannya menusuk. Makhluk itu mengawasi mereka dengan intens.
Tanpa peringatan, suara tawa terdengar dari luar, dingin dan nyaring, seperti berasal dari banyak suara sekaligus, bergema hingga ke dalam kamar.
“Betah kan? Di sini betah, kan?” Suara itu terdengar seperti tawa yang menjelma menjadi bisikan-bisikan halus, mengelilingi mereka dari segala arah.
Andi, Wulan, Raka, dan Toni merasakan kengerian yang tak terlukiskan. Suara-suara itu semakin dekat, bisikan yang terasa seperti menusuk langsung ke dalam pikiran mereka. Tawa itu terus berulang, semakin keras, seolah-olah memenuhi ruangan.
“Betah kan? Betah… di sini?”
Suara itu terus bergema, membuat mereka ingin menjerit, tetapi ketakutan telah mengunci suara mereka. Bisikan-bisikan itu menyatu dengan udara, menembus pikiran mereka, membuat dada terasa sesak.
Di luar jendela, mereka melihat sosok-sosok gelap melayang-layang, bergerak perlahan mendekat, wajah mereka samar-samar, namun semua tersenyum lebar, dengan mata hitam yang tampak kosong dan mematikan.
Malam itu menjadi malam yang tak terbayangkan bagi mereka, rasa takut yang begitu mencekam tak memberi mereka ruang untuk bernapas. Di dalam hati mereka, tersisa satu kesadaran yang menakutkan: bahwa mereka benar-benar terjebak dalam mimpi buruk yang tak akan pernah berakhir.