Terpaksa Menginap
Malam itu, angin pegunungan berhembus kencang, membawa dingin yang tajam dan menusuk ke dalam desa Mojodadi. Suara gemerisik dedaunan dan gesekan ranting pepohonan terdengar seperti bisikan-bisikan aneh, seakan-akan desa ini dikepung oleh suara-suara yang berbisik di balik kegelapan. Langit malam tertutup awan tebal, dan petir sesekali menyambar, menciptakan kilatan cahaya yang samar, memperlihatkan bayang-bayang yang tak terjelaskan di kejauhan.
Di rumah Bu Sari, Wulan berbaring di atas kasur bambu yang sederhana. Meskipun tubuhnya terasa lelah, suasana ganjil yang dirasakannya sejak sore tadi membuat pikirannya tidak tenang, membuat tidur terasa mustahil.
Saat Wulan mulai memejamkan mata, dari arah jendela, sebuah suara pelan terdengar. Bukan sekadar suara angin—suara itu terdengar seperti bisikan yang memanggilnya, terputus-putus, seakan-akan berasal dari tempat yang sangat jauh namun tak terelakkan.
“Wu…lan… Wulan…!”
Napas Wulan tertahan, tubuhnya kaku. Suara itu begitu jelas, padahal ia tahu dirinya hanya sendirian di kamar. Perlahan-lahan, ia bangkit dari kasurnya, menoleh ke arah jendela. Tirai jendela bergetar tertiup angin, memperlihatkan sedikit celah. Dalam kegelapan, sesuatu tampak bergerak di luar, melintas cepat, membuat jantung Wulan berdebar tak menentu.
Ia berusaha menenangkan diri, tetapi suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seolah-olah terdiri dari banyak suara, bukan hanya satu. Kata-kata itu terdengar jelas di telinganya:
“Nak… tolong kami…!”
Jantung Wulan berdetak kencang. Napasnya tersengal-sengal. Dengan gemetar, ia menutup telinganya, mencoba menghalau suara itu, namun tetap saja suara tersebut terus berbisik, menggema di kepalanya. Perlahan, ia membuka matanya dan melihat sesuatu yang membuat tubuhnya menggigil hebat: dari luar jendela, samar-samar tampak tangan-tangan kurus dan keriput mencakar-cakar kaca jendela, bergerak perlahan di atas kaca, seakan mencoba masuk. Kuku-kuku panjang itu bergerak mencakar, meninggalkan bekas tipis yang terlihat jelas. Namun, saat Wulan kembali berkedip, tangan-tangan itu lenyap begitu saja, seolah-olah tak pernah ada.
***
Di gubug, Andi, Toni, dan Raka tidur dengan gelisah. Suara angin di luar semakin keras, membuat udara dalam ruangan semakin dingin dan sunyi. Toni terbangun mendadak, merasakan sesuatu yang janggal di sekitarnya. Ia duduk, mengusap wajah, dan mendapati Andi dan Raka juga terjaga.
“Kalian dengar itu nggak?” bisik Toni dengan suara tercekat.
Andi dan Raka mengangguk, merasakan suara ganjil yang perlahan-lahan semakin keras. Dari balik jendela, mereka mendengar sesuatu yang aneh—seperti suara derap langkah, namun tidak beraturan, berat dan menggema. Suara itu seperti berasal dari kaki-kaki besar yang kasar dan keras, menyusuri tanah menuju balai desa.
Mereka saling pandang, lalu mendekat ke jendela, mengintip dengan hati-hati. Di luar jendela, samar-samar mereka melihat deretan sosok yang berjalan perlahan. Sosok-sosok itu memiliki tubuh tinggi besar dengan kepala yang berbentuk tak lazim—tampak seperti gabungan antara kepala manusia dan kepala kambing. Mereka berdiri dengan postur yang bungkuk, tubuh mereka kurus dan terlihat seperti dilapisi kulit kusam berwarna kelabu, sementara kepala mereka memiliki tanduk panjang yang melengkung ke belakang, mirip tanduk kerbau namun tajam di ujungnya. Matanya gelap, tidak ada bola mata, hanya rongga hitam yang tampak dalam dan kosong.
Andi menahan napas, menyadari bahwa makhluk-makhluk itu melingkari gubug, tubuh mereka bergerak lambat, nyaris tanpa suara. Satu per satu, makhluk-makhluk itu menghadap ke arah jendela, seolah menyadari ada yang mengamati mereka dari balik kaca. Salah satu dari makhluk itu mencondongkan tubuhnya ke arah jendela, memperlihatkan wajahnya yang menyeramkan—gigi-gigi tajam yang menyembul keluar, mulutnya terlihat sedikit berlumuran darah hitam yang mengalir di sudut bibirnya.
“Raka… Toni…” bisik Andi, suaranya hampir tak terdengar. Ia ingin bergerak mundur, namun tubuhnya terasa kaku.
Makhluk yang berada di luar jendela perlahan mengangkat tangan kurusnya dan menggoreskan kukunya di kaca, meninggalkan garis-garis tipis yang berderit, membuat suara yang memekakkan telinga. Wajahnya semakin mendekat ke kaca, bibirnya bergerak tanpa suara, namun Andi bisa merasakan kata-kata yang dipaksakan keluar dengan nada seperti berdesis.
“Tumbal! Tumbal baru! Tumbal segar!”
Bisikan itu terasa seperti dentuman di dalam kepala mereka, menyebabkan rasa sakit yang menusuk di telinga dan kepala. Makhluk itu terus menggoreskan kukunya di kaca, menciptakan pola-pola yang berantakan, sementara mata hitamnya tetap mengunci pandangan pada mereka.
Tanpa peringatan, pintu gubug berderak terbuka dengan keras, menimbulkan suara yang memecah kesunyian. Dari ambang pintu, makhluk bertanduk yang paling besar melangkah masuk, tubuhnya tampak menggantung tak menyentuh lantai. Kakinya melayang, namun di setiap gerakannya, lantai gubug tampak hangus, seperti terbakar. Makhluk itu bergerak dengan lambat ke arah mereka, sementara tangan kurusnya terjulur ke depan, kukunya panjang dan terlihat tajam.
Andi, Toni, dan Raka tak bisa bergerak, mereka hanya bisa menyaksikan makhluk itu mendekat, semakin dekat hingga baunya yang busuk menusuk hidung. Makhluk itu berhenti beberapa langkah di depan mereka, lalu menunduk, wajahnya hampir menyentuh wajah Andi, dan dari mulutnya keluar suara yang terdengar seperti desis penuh kebencian:
“Ki Suko… menunggumu…”
Suara bisikan itu seperti melekat di kepala mereka, membuat tubuh mereka bergetar tanpa henti. Perlahan, makhluk itu mengulurkan tangannya ke arah Andi, jari-jarinya yang panjang dan berujung runcing hampir menyentuh wajahnya. Andi menahan napas, tak mampu melakukan apa pun.
Namun tiba-tiba, pintu tertutup keras, seakan-akan ada angin besar yang mendorongnya. Makhluk-makhluk itu menghilang begitu saja, hanya menyisakan hawa dingin yang menggantung di udara dan meninggalkan bekas-bekas goresan di kaca jendela.
***
Di rumah Bu Sari, Wulan merasakan ketakutan yang semakin dalam. Dari luar kamarnya, terdengar suara ketukan pelan di pintu, seperti bunyi kuku tajam yang menyentuh kayu, satu demi satu. Wulan menahan napas, takut untuk bergerak atau menjawab ketukan itu.
“Tok… Tok…”
Suara ketukan berhenti, berganti dengan langkah kaki yang berat dan lambat. Dari balik pintu, terdengar suara Bu Sari, tapi tidak seperti biasanya. Suara itu terdengar datar dan dingin.
“Tidurlah… tidurlah sebelum Ki Suko datang…”
Wulan menelan ludah, tubuhnya kaku mendengar suara itu. Ia merasakan ancaman samar yang terselip dalam nada suara Bu Sari.
Dengan bergetar, Wulan bertanya, “Bu Sari… siapa Ki Suko?”
Bu Sari terdiam lama sebelum menjawab. Saat ia akhirnya berbicara, suaranya sangat pelan, hampir seperti bisikan.
“Dia yang menjaga desa ini… Dia yang menunggu… dan dia yang akan datang mengumpulkan jiwa-jiwa yang naif…”
Setelah berkata demikian, Bu Sari menjauh, langkahnya terdengar kembali ke lorong. Wulan tertegun, matanya menatap pintu dengan ketakutan yang semakin dalam. Sesuatu di dalam dirinya menyadari bahwa kehadiran mereka di desa ini bukan sekadar kunjungan, dan bahwa mereka kini terikat oleh sosok yang tak kasat mata namun jelas-jelas mengancam.
***
Pagi harinya, dengan wajah pucat dan mata yang merah karena kurang tidur, Andi, Toni, dan Raka berkumpul di luar balai desa. Mereka segera menemui Wulan yang juga tampak tak kalah ketakutan. Mereka saling bertukar cerita soal apa yang telah mereka alami semalam.
“Aku dengar nama itu juga tadi malam,” kata Wulan sambil memegang lengan Raka dengan erat, napasnya berat. “Bu Sari bilang… Ki Suko yang menjaga desa ini.”
Toni menatap teman-temannya dengan penuh kecemasan. “Kita harus cari tahu siapa atau apa sebenarnya Ki Suko ini. Aku rasa desa ini menyembunyikan rahasia besar… dan itu melibatkan kita.”
Mereka berempat saling pandang, kini sadar bahwa kehadiran mereka di Mojodadi telah melibatkan mereka dalam sesuatu yang lebih kelam dari yang pernah mereka bayangkan.