Desa Mojodadi yang Indah dan Damai
Pagi menyambut desa Mojodadi dengan tenang. Matahari pagi menebar sinar hangat yang melintasi pepohonan, menyingkap kabut tipis di antara sawah dan jalan berliku yang mengitari desa. Udara segar mengalir lembut, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Langit yang bersih membentang di atas Mojodadi, memberi keheningan yang menenangkan, seolah semesta sedang memuji ketenteraman desa ini.
Di sepanjang jalan, warga desa mulai keluar dari rumah, tersenyum sambil mengucap salam pagi. Mereka bekerja di ladang, memberi makan ternak, dan berbincang satu sama lain seperti hari-hari biasanya. Tak ada yang menyiratkan bahwa hanya semalam sebelumnya, altar di tengah hutan menjadi saksi sebuah ritual kuno dan berdarah. Tak ada bekas, tak ada sisa.
Pak Surya berjalan melewati altar yang kini bersih. Batu-batu besar yang semalam ternoda, kini berkilau indah, tampak seperti bagian alam yang tak tersentuh. Warga yang berlalu-lalang hanya sesekali meliriknya, namun tanpa kata, tanpa keraguan, seolah batu itu tak lebih dari sekadar batu—sebuah bagian biasa dari desa mereka yang tenteram.
Burung-burung bernyanyi di pepohonan, dan suara derik serangga perlahan mengisi udara, melengkapi harmoni pagi yang tampak sempurna. Tanah di ladang tampak lebih subur, tanaman tumbuh hijau dan kokoh. Hewan ternak berkeliaran dengan tenang di padang, sementara para petani bekerja di bawah sinar matahari yang cerah.
Jika ada seorang pendatang yang tiba di desa ini, ia mungkin akan merasa seolah ia telah melangkah ke sebuah surga kecil di lereng gunung yang tersembunyi. Hanya kedamaian, hanya kehidupan yang sederhana.
Namun, di balik setiap senyum dan sapa yang ramah, di balik lantunan doa pagi yang mengalun lembut dari balai desa, tersimpan sesuatu yang tak pernah diucapkan, sesuatu yang hanya dimengerti oleh mereka yang tinggal di sini. Altar itu berdiri, diam dan tak berubah. Kehidupan di Mojodadi pun berlanjut, dalam keindahan yang tak ternodai—dan ketenteraman ini terasa sempurna, terlalu sempurna.
Matahari pagi terus merayap, menyingkap kabut terakhir yang menutupi desa, sementara warga Mojodadi menjalani hari mereka seperti biasa.
Disclaimer: Cerita ini adalah karya fiksi belaka. Semua nama, karakter, tempat, dan kejadian hanya ada dalam imajinasi penulis dan tidak berkaitan dengan dunia nyata. Kesamaan nama, peristiwa, atau lokasi yang mungkin terjadi adalah kebetulan dan tidak disengaja.