Sukacita
Tubuh Andi, Raka, dan Wulan tergeletak di altar, tak lagi bernyawa. Tiga sosok muda yang tadinya penuh semangat kini telah menjadi persembahan tak berdaya bagi Ki Suko. Udara malam berhenti, seakan menghormati kematian mereka dalam keheningan yang mencekam. Namun, warga desa justru menyambutnya dengan kelegaan—suatu tanda bahwa desa mereka akan dilindungi, sekali lagi.
Pak Surya berjalan mendekat, wajahnya tak menunjukkan ekspresi, tapi matanya menyiratkan kelegaan dalam-dalam. Perlahan, ia menunduk, menorehkan darah dari tubuh Andi dan menyentuh altar dengan darah segar itu, melumuri batu besar sebagai persembahan terakhir kepada Ki Suko. Ia melirik warga desa yang memandanginya dengan penuh penghormatan, menunggu aba-aba terakhir untuk menyelesaikan ritus ini.
Dengan anggukan dari Pak Surya, warga desa mulai bergerak serempak. Tubuh Andi, Raka, dan Wulan dirapatkan dengan kasar ke tengah altar, lalu warga desa mulai menumpuk kayu kering di sekitar mereka. Setelah api dinyalakan, tubuh ketiga korban mulai dilahap nyala api, asap hitam naik ke langit malam, mengirimkan aroma wangi daging bakar yang menyebar ke seluruh desa.
Beberapa warga mulai bergerak mengelilingi api, wajah-wajah mereka menyiratkan kepuasan yang aneh. Mereka menari perlahan, gerakan mereka seragam, melantunkan pujian dan doa dalam bahasa kuno yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Mantra-mantra yang diucapkan terdengar rendah dan dalam, seperti bisikan yang diselimuti kegelapan. Senyum samar terlihat di wajah-wajah mereka—senyum kemenangan yang menyimpan rahasia kelam.
Api terus berkobar, menjilat-jilat tubuh korban yang kini menjadi abu persembahan. Pak Surya bergumam dengan suara rendah, memohon agar Ki Suko menerima persembahan ini dengan senang hati. Dan seakan menjawab doa mereka, Ki Suko menyatu di dalam kobaran api persembahan. Ia tersenyum dari tengah lalapan api, puas atas persembahan ini. Dalam keheningan yang mencekam, Ki Suko perlahan menghilang, meninggalkan para warga dengan janji perlindungan yang akan terus berlangsung… selama mereka tetap memenuhi perjanjian yang telah dibuat.
Malam itu, mereka merasa lega. Para warga bersatu dalam perasaan suka cita—sebuah kemenangan yang diperoleh dengan menumpahkan darah, namun dirayakan dalam kesunyian yang penuh makna.