Jantung Kota Membeku
Angin dingin berhembus di alun-alun, membawa rasa gelisah yang menyelimuti seluruh Kota Mainan. Arin memandang ke arah sebuah menara yang menjulang di pusat kota. Di atasnya terdapat bola kristal besar yang sebelumnya bersinar dengan warna-warni, namun kini membeku dalam warna kelabu pekat.
“Itu adalah Jantung Kota,” kata Lilo, berdiri di samping Arin. “Dulu, jantung itu adalah sumber warna paling kuat di Kota Mainan. Semua kebahagiaan berasal dari sana. Tapi sekarang… ia membeku.”
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Arin, menatap menara dengan alis berkerut.
“Kael,” jawab Lilo dengan nada sedih. “Dia menyegel Jantung Kota dengan kabut kelabu. Tidak ada mainan yang bisa mendekatinya, karena kabut itu membuat kami kehilangan energi.”
Bumble, yang berdiri di belakang mereka, menambahkan, “Jantung Kota itu sangat penting, Arin. Jika kita tidak memulihkannya, semua warna di kota ini akan benar-benar lenyap.”
Arin menghela napas panjang. Ia merasa beban tanggung jawab semakin berat, tetapi ia tidak bisa mundur. “Kalau begitu, kita harus pergi ke sana.”
“Berhati-hatilah,” kata Lilo. “Kael pasti ada di sana. Dia tidak akan membiarkan kita mendekati Jantung Kota dengan mudah.”
Saat mereka mendekati pusat kota, kabut kelabu semakin tebal. Arin merasa hawa dingin menyusup ke kulitnya, membuat langkahnya sedikit goyah. Di sekelilingnya, para mainan tampak kesulitan. Lilo berjalan lebih lambat, dan Bumble bahkan harus berhenti beberapa kali untuk menarik napas.
“Aku tidak bisa…” gumam Bumble, terjatuh di atas lututnya. “Kabut ini terlalu berat…”
Lilo, meskipun terlihat kelelahan, mencoba menghiburnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Bumble. Arin, ini adalah ujung jalan kami. Kamu harus melanjutkan sendiri.”
“Apa?” Arin memandang mereka dengan cemas. “Tapi aku tidak bisa melakukannya sendirian!”
“Kamu bisa,” kata Lilo, menatapnya dengan mata yang penuh keyakinan. “Kami percaya padamu. Tidak ada kabut yang bisa mengalahkan keberanianmu.”
Arin menelan ludah, menatap kabut yang semakin tebal di depannya. Ia merasa takut, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dengan langkah ragu, ia maju, meninggalkan Lilo dan Bumble di belakang.
Kabut di sekitar Arin begitu tebal hingga ia hampir tidak bisa melihat apa-apa. Suara langkah kakinya bergema di jalan batu yang sunyi. Hawa dingin membuat tubuhnya gemetar, tetapi ia terus melangkah.
“Ini untuk mereka,” gumamnya, mencoba menguatkan diri. “Aku harus melakukannya.”
Akhirnya, Arin sampai di depan menara besar di pusat kota. Pintu logamnya terlihat kokoh, tetapi ada celah kecil di tengahnya yang memancarkan cahaya redup. Arin mengulurkan tangan, mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga.
Ketika pintu terbuka, ia melihat Jantung Kota di tengah ruangan besar. Bola kristal itu berdiri di atas alas emas, tapi permukaannya tertutup lapisan es tebal, dan tidak ada kilauan warna yang tersisa.
Arin melangkah maju, tetapi tiba-tiba suara berat menghentikannya. “Berhenti di situ.”
Arin berbalik, dan di sana berdiri Kael, tubuhnya diselimuti kabut kelabu yang pekat.
“Kamu tidak seharusnya ada di sini,” kata Kael, suaranya dingin seperti es.
Arin menggenggam tangannya erat-erat. “Kenapa kamu melakukan ini, Kael? Kota ini membutuhkan Jantung Kota untuk bertahan.”
Kael mendekat perlahan, langkah kakinya bergema di ruangan. “Kota ini tidak membutuhkan aku. Jadi kenapa aku harus peduli padanya? Semua orang meninggalkanku ketika aku rusak. Mereka hanya peduli pada yang sempurna.”
“Itu tidak benar!” seru Arin. “Kota ini membutuhkan semua mainan, termasuk kamu. Bahkan saat kamu merasa rusak, kamu masih bisa menjadi bagian dari mereka.”
Kael mengerutkan kening. “Kamu tidak tahu apa-apa, manusia. Kamu hanya anak kecil. Apa yang kamu tahu tentang kehilangan?”
Arin terdiam, tetapi ia mengangkat dagunya. “Aku tahu bagaimana rasanya merasa tidak cukup baik. Tapi aku juga tahu bahwa menyerah tidak akan memperbaiki apa-apa. Kalau kamu benar-benar peduli pada kota ini, kamu harus berhenti.”
Kael tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kepahitan. “Kalau begitu, buktikan. Buktikan bahwa kamu layak memulihkan kota ini.”
Ia melangkah mundur, dan kabut kelabu di sekeliling Jantung Kota semakin pekat. “Kalau kamu bisa mencapai Jantung Kota, mungkin aku akan mempertimbangkan.”
Arin menatap Jantung Kota yang kini hampir tidak terlihat di balik kabut. Ia merasa tubuhnya semakin lemah dengan setiap langkah, tetapi ia terus maju.
“Kamu tidak akan berhasil,” kata Kael dari belakang, nadanya datar.
“Aku tidak akan tahu kalau aku tidak mencoba,” jawab Arin dengan suara tegas.
Langkah demi langkah, Arin mendekati Jantung Kota. Ketika ia akhirnya menyentuh permukaan bola kristal itu, ia merasakan hawa dingin yang menusuk telapak tangannya. Tetapi ia tidak mundur. Ia memejamkan mata, membayangkan semua warna yang pernah ia lihat di Kota Mainan—semua tawa, kegembiraan, dan harapan yang dibawa oleh mainan.
“Kael,” katanya dengan suara pelan tetapi jelas. “Kamu masih bisa mengembalikan semua ini. Kamu tidak harus melakukannya sendirian.”
Kael terdiam. Ia melihat Arin yang berdiri di depan Jantung Kota dengan penuh keberanian, meskipun tubuhnya gemetar karena dingin. Sesuatu dalam dirinya bergetar.
“Kamu… benar,” gumamnya akhirnya. “Aku tidak ingin kota ini lenyap. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki semuanya.”
“Kamu tidak perlu melakukannya sendirian,” kata Arin sambil berbalik. “Kita semua akan membantumu.”
Kael mendekat perlahan. Dengan tangannya yang rusak, ia menyentuh Jantung Kota bersama Arin. Kabut kelabu mulai memudar, dan lapisan es di bola kristal itu perlahan meleleh.
Warna pertama yang muncul adalah biru muda, diikuti oleh merah cerah, kuning hangat, dan akhirnya seluruh spektrum pelangi. Jantung Kota mulai berdenyut lagi, memancarkan cahaya yang menyebar ke seluruh Kota Mainan.
Kael mundur sedikit, matanya yang merah meredup menjadi oranye lembut. “Aku tidak tahu apakah aku layak mendapat kesempatan kedua,” katanya.
Arin menatapnya dengan senyum kecil. “Semua orang layak mendapat kesempatan kedua, Kael. Bahkan kamu.”
Kael mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit beban di dalam dirinya terangkat. Kota Mainan perlahan kembali hidup, dan bersama itu, Kael mulai mempertimbangkan bahwa mungkin, ia masih punya tempat di sini.