Kael
Kota Mainan kembali berwarna setelah pelangi muncul, tetapi suasana cerah itu tidak bertahan lama. Pagi itu, saat Arin berjalan ke alun-alun bersama Lilo, mereka melihat sesuatu yang aneh. Jalan-jalan yang sebelumnya penuh warna kembali memudar, dan kabut kelabu mulai merayap perlahan dari ujung kota.
“Ini tidak mungkin!” seru Lilo, matanya membelalak.
“Kenapa warna-warnanya hilang lagi?” tanya Arin dengan nada khawatir.
Mereka berlari ke arah asal kabut, dan di sana, di tengah jalan, berdiri sosok yang membuat Arin terkejut. Itu adalah sebuah robot tinggi, dengan tubuh terbuat dari logam kusam. Salah satu lengannya terlihat rusak dan menggantung, sementara matanya menyala dengan cahaya merah.
“Siapa itu?” tanya Arin, melangkah mundur.
“Itu… Kael,” jawab Lilo dengan suara rendah.
Kael menoleh ke arah mereka, suara langkah kakinya yang berat bergema di jalan yang sunyi. “Jadi ini manusia yang kalian banggakan?” katanya, suaranya dalam dan dingin.
Arin menatapnya, berusaha menyembunyikan rasa takut. “Aku di sini untuk membantu. Tapi kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu menyebarkan kelabu ke kota?”
Kael tertawa kecil, suara logamnya bergetar. “Karena warna-warna ini tidak ada artinya. Semua mainan di sini hanya peduli pada kegembiraan dan keindahan. Tidak ada yang peduli pada apa yang rusak.”
“Kael, itu tidak benar!” kata Lilo, melangkah maju. “Kami semua ingin membantu. Tapi kamu harus memberi kami kesempatan.”
“Kesempatan?” Kael mendekat, dan kabut kelabu semakin tebal di sekitarnya. “Aku sudah diberi kesempatan. Dan mereka meninggalkanku!” Dengan gerakan cepat, ia berbalik dan menghilang ke dalam kabut, meninggalkan Arin dan Lilo yang terdiam di tempat.
Arin merasa jantungnya berdegup kencang. “Dia… dia benar-benar marah,” katanya pelan.
“Kael selalu seperti itu sejak dia kembali ke kota,” kata Lilo dengan nada sedih. “Dulu dia adalah robot penjaga yang hebat. Tapi sesuatu terjadi padanya.”
“Apa maksudmu?” tanya Arin.
Lilo menghela napas panjang. “Dia pernah menjadi salah satu mainan paling dihormati di kota ini. Dia melindungi kami dari bahaya dan membantu menjaga kebahagiaan. Tapi ketika tubuhnya rusak dalam sebuah kecelakaan, dia merasa tidak berguna. Para mainan mencoba membantunya, tapi Kael malah menarik diri. Akhirnya, dia pergi.”
Arin merenungkan kata-kata Lilo. “Dan sekarang dia kembali… untuk menyebarkan kelabu?”
Lilo mengangguk. “Dia percaya bahwa karena dia rusak, dia tidak layak menjadi bagian dari kota ini. Dan perasaan itu mengubahnya.”
Arin mengepalkan tangannya. “Kita harus membantunya. Kalau dia terus seperti ini, seluruh kota akan lenyap.”
Mereka kembali ke alun-alun, di mana Bumble sudah menunggu. Begitu melihat Lilo dan Arin, badut kecil itu melompat-lompat dengan cemas.
“Lilo! Arin! Aku melihat Kael lagi. Dia pergi ke arah Menara Harapan!” serunya.
Arin menatap Lilo. “Apa yang ada di sana?”
“Menara Harapan adalah tempat di mana semua mainan datang untuk mencari inspirasi. Tapi kalau Kael ada di sana, itu berarti dia mencoba memadamkan harapan terakhir kota ini.”
Bumble tampak gelisah. “Aku tahu Kael marah, tapi aku tidak mengerti kenapa dia begitu membenci kota ini. Dia dulu adalah pahlawan.”
Arin mengingat apa yang Kael katakan sebelumnya. “Dia merasa ditinggalkan. Dia berpikir bahwa dia tidak diinginkan lagi karena dia rusak.”
Lilo mengangguk. “Itu sebabnya dia mulai menyebarkan kelabu. Dia ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa kebahagiaan tidak bisa bertahan selamanya.”
Arin duduk di bangku, mencoba memikirkan apa yang bisa ia lakukan. “Kalau kita bisa membuat Kael merasa diterima lagi, mungkin dia akan berhenti.”
“Tapi bagaimana caranya?” tanya Bumble. “Dia tidak mau mendengarkan kita.”
Lilo berpikir sejenak. “Kita harus menemukan sesuatu yang berarti bagi Kael. Sesuatu yang bisa mengingatkannya pada siapa dia sebenarnya.”
Arin menatap mereka berdua. “Apakah ada tempat atau benda yang penting bagi Kael? Sesuatu dari masa lalunya?”
Bumble tiba-tiba teringat sesuatu. “Tunggu! Aku pernah melihat Kael membawa surat-surat lama ketika dia pertama kali kembali. Dia sering duduk di taman kecil dekat bengkel tua, membaca surat itu.”
“Surat?” Arin mengerutkan kening. “Apa yang ada di dalam surat itu?”
Bumble menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi mungkin itu bisa membantu kita memahami apa yang dia rasakan.”
Mereka bertiga pergi ke taman kecil yang disebut Bumble. Di sana, di bawah pohon yang sudah layu, mereka menemukan kotak kayu kecil yang terkubur setengah di tanah.
“Aku yakin ini milik Kael,” kata Bumble.
Arin membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ia menemukan beberapa surat yang ditulis dengan tangan yang rapi. Satu surat menarik perhatiannya—ditulis dengan tinta biru yang hampir pudar.
“Kael… ini surat dari pemiliknya,” kata Arin, membaca isi surat itu.
Surat itu berbunyi:
“Untuk Kael, mainan penjaga terbaikku. Aku tahu kau merasa rusak, tapi bagiku, kau selalu sempurna. Aku akan selalu mengingatmu sebagai pahlawan, meskipun kita tidak bisa bersama lagi. Terima kasih sudah menjadi teman terbaikku. Aku harap suatu hari nanti, kau menemukan tempat di mana kau diterima apa adanya.”
Arin memandang surat itu dengan haru. “Kael tidak membenci kota ini. Dia hanya ingin merasa diterima. Dia ingin tahu bahwa dia masih berarti bagi kita.”
Lilo mengangguk, matanya bersinar dengan pemahaman baru. “Kita harus menunjukkan padanya bahwa dia tidak sendirian. Bahwa dia masih penting bagi kota ini.”
Bumble tersenyum kecil. “Mungkin… ini kesempatan kita untuk membuat Kael percaya lagi.”
Arin memegang surat itu erat-erat. Dengan petunjuk ini, ia merasa yakin mereka bisa membuat Kael kembali menjadi bagian dari Kota Mainan. Tapi perjalanan mereka untuk mencapai itu baru saja dimulai.