Bertemu Bumble
Taman Tawa terletak di pinggiran Kota Mainan. Tapi begitu Arin tiba, ia tidak mendengar tawa seperti yang dibayangkannya. Taman itu sepi, dengan ayunan yang bergoyang pelan oleh angin dan wahana berkarat yang terlihat tidak terpakai. Bahkan rumput taman, yang sebelumnya hijau cerah, kini memudar menjadi cokelat kusam.
Di tengah taman, duduklah Bumble. Ia adalah boneka badut kecil dengan wajah putih yang seharusnya bersinar ceria, tapi kini tampak muram. Topinya yang penuh lonceng kini kehilangan kilau, dan senyumnya yang lebar terlihat pudar.
“Bumble,” panggil Lilo sambil berjalan mendekat.
Bumble mengangkat kepalanya perlahan, dan tatapan matanya yang kosong membuat Arin merasa iba. “Oh, halo, Lilo,” gumamnya lesu. “Siapa temanmu ini?”
“Ini Arin. Dia di sini untuk membantu kota,” kata Lilo. “Bumble, apa yang terjadi di sini? Kenapa taman ini begitu sepi?”
Bumble menundukkan kepala. “Aku… aku tidak bisa membuat orang tertawa lagi. Hatiku terasa kosong.”
Arin berlutut di depan Bumble. “Kenapa hatimu kosong? Apa yang terjadi?”
Badut kecil itu menghela napas panjang. “Aku kehilangan sesuatu yang penting. Tanpa itu, aku tidak bisa membuat tawa. Aku mencoba, tapi semuanya terasa sia-sia.”
“Apa yang kamu hilangkan?” tanya Arin dengan suara lembut.
Bumble menggenggam topinya yang kusam. “Sebuah tombol. Tombol tawa, itu yang memberiku kekuatan untuk membuat orang bahagia. Aku takut memberitahu siapa pun karena aku merasa bodoh telah kehilangannya.”
Lilo menyentuh kaki Bumble dengan lembut. “Bumble, kami di sini untuk membantumu. Tapi kami tidak bisa melakukannya kalau kamu tidak jujur.”
Bumble mengangguk pelan, tampak ragu tapi akhirnya berkata, “Aku menyembunyikan tombol itu di suatu tempat. Aku takut seseorang akan mencurinya, tapi kemudian aku lupa di mana aku meletakkannya.”
Arin menatap taman yang luas. Ia bisa merasakan perasaan bersalah Bumble yang mendalam, dan ia tahu betapa pentingnya tombol itu.
“Kita akan mencarinya bersama-sama,” kata Arin.
“Tapi taman ini besar!” seru Bumble. “Bagaimana kita bisa menemukannya?”
“Kita mulai dari tempat yang paling kamu ingat,” kata Arin dengan senyum kecil. “Ayo, tunjukkan jalannya.”
Bumble memimpin mereka ke sudut taman yang lebih tersembunyi, di mana sebuah kotak musik tua berdiri di bawah pohon besar. Bumble menunjuk kotak itu dengan canggung. “Aku pikir aku pernah menyimpannya di sini…”
Arin membuka kotak musik itu, tapi tidak menemukan apa-apa selain debu dan lonceng kecil. Ia mengerutkan dahi, mencoba memikirkan kemungkinan lain. Ia menoleh ke Bumble. “Apakah kamu sering bermain di sini?”
Bumble mengangguk pelan. “Ya, aku suka memutar musik di sini, tapi aku… aku lupa.”
Arin melihat-lihat di sekitar kotak musik, dan matanya menangkap sesuatu yang mencuat dari tanah tak jauh dari sana. Sebuah benda kecil yang mengilap. Ia berlutut dan mulai menggali dengan tangan, sampai akhirnya ia mengangkat sebuah tombol kecil berbentuk lingkaran berwarna emas.
“Apakah ini tombolnya?” tanya Arin sambil menyerahkannya kepada Bumble.
Mata Bumble membelalak, dan wajahnya mulai bersinar, meskipun samar. “Ya! Itu tombol tawa!” katanya penuh semangat.
Ia memasang tombol itu kembali di dadanya, dan suara kecil berbunyi klik. Bumble perlahan berdiri, dan senyum lebarnya kembali muncul. Suara lonceng dari topinya berdering pelan, dan tiba-tiba, warna cerah mulai menyebar di taman. Ayunan bergerak lebih cepat, wahana mulai berputar lagi, dan suara tawa kecil terdengar dari segala arah.
“Terima kasih, Arin!” Bumble berseru dengan gembira. “Aku bisa membuat orang tertawa lagi!”
Arin tersenyum, merasa puas dengan apa yang telah mereka lakukan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini baru permulaan. Mereka masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan.