Berpisah
Hari terakhir Arin di Kota Mainan dipenuhi kegembiraan sekaligus kesedihan. Warna-warna di kota itu telah pulih sepenuhnya, bahkan lebih indah dari sebelumnya. Para mainan kembali menjalankan tugas mereka dengan sukacita, tetapi suasana hati mereka bercampur saat mereka berkumpul di alun-alun untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Arin.
“Terima kasih atas semuanya, Arin,” kata Lilo, berdiri di depan kerumunan mainan. “Tanpamu, kami tidak akan bisa menyelamatkan kota ini.”
Arin berlutut untuk memeluk Lilo. “Aku juga belajar banyak dari kalian. Keberanian, kejujuran, dan pentingnya menjadi diri sendiri. Aku tidak akan melupakan kalian.”
Rainbow menyerahkan selembar kain kecil berwarna pelangi kepada Arin. “Ini untukmu. Agar kau selalu ingat Kota Mainan.”
Bumble, dengan matanya yang penuh air mata bahagia, melompat ke pelukan Arin. “Kapan-kapan, kembalilah lagi! Pintu itu mungkin akan terbuka lagi suatu hari nanti.”
Arin mengangguk, mencoba menahan emosinya. “Aku janji.”
Lilo mengantar Arin kembali ke pintu kecil yang tersembunyi di bawah pohon oak tua. Cahaya dari lorong berkilauan seperti hari pertama ia datang ke kota.
“Pintu ini akan membawamu kembali ke taman di dunia manusia,” kata Lilo. “Tapi ingat, Arin. Warna Kota Mainan tidak hanya ada di sini. Itu juga ada di dalam dirimu.”
Arin memeluk Lilo sekali lagi sebelum melangkah ke lorong cahaya. Dengan berat hati, ia melihat kota yang penuh warna di belakangnya untuk terakhir kalinya. Pintu perlahan menutup, dan ia melangkah kembali ke dunia nyata.
Arin membuka matanya dan menemukan dirinya berdiri di taman tua tempat ia menemukan pintu itu. Matahari sore menyinari daun-daun yang berguguran, dan semuanya tampak… biasa, tetapi juga berbeda.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan sesuatu yang baru di dalam dirinya—kepercayaan diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat ia berjalan menyusuri taman, ia memperhatikan hal-hal kecil yang sering ia abaikan sebelumnya: warna-warni bunga liar di antara rumput, cahaya matahari yang menerobos dedaunan, dan suara tawa anak-anak yang bermain di kejauhan.
Arin tersenyum kecil. Ia menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang hal-hal besar, tetapi juga tentang menikmati momen-momen kecil di sekitar.
Ketika Arin melewati pohon oak tua, matanya tertarik pada sesuatu di dekat akarnya. Ia berjongkok dan menemukan sebuah medali kecil yang memantulkan sinar matahari.
Medali itu berwarna perak dengan semburat biru, persis seperti warna tubuh Kael saat terakhir kali ia melihatnya.
Arin menggenggam medali itu erat-erat. “Kael…” bisiknya.
Ia merasa seolah-olah Kael masih ada di sisinya, memberikan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.
Arin berjalan keluar dari taman dengan senyum yang lebar. Dunia nyata di sekelilingnya terasa lebih cerah dari sebelumnya. Bukan karena perubahan di luar, tetapi karena ia melihatnya dengan mata yang baru—mata yang mampu menghargai warna dalam segala hal.
Di dalam hatinya, ia tahu bahwa pengalamannya di Kota Mainan akan selalu menjadi bagian darinya. Dan ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjaga warna-warna itu tetap hidup, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
Langit di atas tampak lebih biru, dan angin yang bertiup membawa kehangatan. Dengan langkah ringan, Arin melangkah pulang, siap menghadapi apa pun yang menunggunya di masa depan.
Warna Kota Mainan mungkin ada di dunia lain, tetapi keajaibannya akan terus hidup di dalam hati Arin—dan itu sudah lebih dari cukup.