Langit sore yang lembut menyelimuti taman tua di pinggiran kota. Daun-daun berguguran dalam alunan angin yang nyaris tak terdengar, menciptakan suasana yang damai dan sekaligus misterius. Taman itu adalah tempat favorit Arin. Tidak banyak anak seusianya yang menganggap taman tersebut menarik—bagi mereka, itu hanya tempat biasa dengan bangku tua dan pohon-pohon besar. Tapi bagi Arin, taman ini adalah dunia penuh rahasia.
Arin melangkah perlahan di antara semak-semak, jari-jarinya menyentuh dedaunan yang mulai menguning. Matanya tertarik pada sebuah sudut yang jarang ia perhatikan sebelumnya, tempat rerumputan tumbuh lebat di bawah pohon oak tua. Dia menyipitkan mata, memperhatikan sesuatu yang tampak… berbeda.
“Hmm, apa itu?” gumamnya pelan.
Di sana, tersembunyi di balik akar pohon yang menonjol, ada sesuatu yang aneh. Arin berlutut, mendorong semak kecil ke samping, dan menyadari bahwa itu adalah sebuah pintu. Pintu kecil, tidak lebih tinggi dari pinggangnya, terbuat dari kayu yang terlihat lapuk tapi dihiasi ukiran rumit berbentuk pola-pola bintang. Pegangan pintunya terbuat dari logam berbentuk kepala kucing.
“Sejak kapan ada pintu di sini?” Arin bertanya pada dirinya sendiri, rasa penasarannya semakin memuncak. Dia mengulurkan tangan, tapi berhenti sejenak. Apa yang ada di balik pintu itu? Dan mengapa ia merasa seakan-akan pintu itu menunggunya?
Jantung Arin berdegup kencang saat ia menggenggam pegangan pintu yang terasa dingin. Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada orang lain yang memperhatikannya. Taman itu sunyi, hanya suara angin dan desau dedaunan menemani.
Dengan hati-hati, ia memutar pegangan pintu. Terdengar suara klik halus, diikuti dengan bunyi derit saat pintu terbuka. Di balik pintu, Arin tidak melihat tanah atau akar pohon, melainkan lorong berkilauan yang seakan terbuat dari cahaya dan kaca. Lorong itu memanjang jauh ke dalam kegelapan, memancarkan warna-warni yang terus berubah, seperti pelangi yang hidup.
“Wow…” napas Arin tertahan. Ia merasakan tarikan halus, seolah-olah lorong itu memanggilnya untuk masuk.
Dengan satu langkah kecil, ia melewati pintu. Saat kakinya menyentuh lantai lorong, pintu di belakangnya menutup perlahan tanpa suara. Arin tidak merasa takut, hanya dipenuhi rasa takjub. Cahaya lorong itu menyelimuti tubuhnya dengan hangat, dan semakin ia melangkah ke depan, semakin kuat perasaan bahwa ia menuju sesuatu yang luar biasa.