Bu Budi terkejut mendengar suara perempuan yang menyambung nyanyiannya. Ia merasa ada yang mengawasinya. Bu Budi tak sengaja langsung menoleh ke arah jendela kamar anaknya. Dilihatnya sesosok perempuan yang tengah menatap mereka berdua di balik jendela. Tersenyum begitu lebar. Menatap mata bu Budi dengan jelas.
Hihihihihihihihiii!
Kuntilanak itu tertawa. Sementara kini bayi bu Budi menangis kencang. Bu Budi berteriak histeris, “MAS BUDI! MAS BUDIIIII! TOLOOONGGG!”
Pak Budi yang mendengar seruan bu Budi bergegas menuju kamar. Dilihatnya jendela kamar sudah terbuka dan aroma mewangi Kemuning menyerbak mengisi seluruh ruangan.
Samar-samar suara tawa perempuan terdengar.
“M-m-mass…” ucap bu Budi gemetar sambil mendekap bayinya.
“Sudah nggak apa-apa. Suaranya sudah menjauh.”
“MAS!” bu Budi berusaha memperingatkan bahwa Kuntilanak itu kini tepat berada di belakang suaminya.
Pak Budi terlempar ketika Kuntilanak itu menunjukkan dirinya. Bu Budi berteriak histeris.
Kuntianak itu terbang ke arah Bu Budi dengan cepat. Tiba-tiba saja nenek yang tadi pagi memperingatkan mereka muncul dan menghalau kuntilanak itu dengan melemparkan garam dan tumbukan daun kelor.
Kuntilanak itu kini tampak kepanasan. Nenek itu kemudian menggumamkan lantunan mantra untuk melemahkan kuntilanak tersebut sambil terus melemparinya dengan garam dan daun kelor. Selang beberapa menit akhirnya Kuntilanak itu berteriak keras dan kemudian menghilang.
Keesokan harinya, Pak Budi langsung menebang perdu Kemuning itu. Semua orang yang menyaksikan penebangan itu tercengang ketika perdu kemuning itu ditebang. Alih-alih bergetah putih, yang keluar justru cairan pekat merah seperti darah. Setelah itu angin kencang menerpa mereka. Pak Budi bergegas memotong-motong perdu itu menjadi tujuh bagian dan kemudian membakarnya. Sejak saat itu, bayi Bu Budi tak pernah menangis lagi setiap diajak ke halaman depan.