“Gimana? Gimana? Hahahaha..” kini ia tertawa geli. Ia tujuh tahun lebih tua daripada aku. Tak mungkin ia tak mengerti gelagat lelaki yang sedang ingin mengungkapkan rasa cintanya.
“Aku nggak mau kita cuma sekedar adik-kakak.” ucapku akhirnya mengeluarkan pernyataan itu.
“Lalu?” tanyanya.
“Ya aku pingin lebih.” jawabku.
Sesaat terasa begitu hening. Kemudian ia menjawab, “Kalau kamu mau nganggep lebih ya silahkan dek. Mbak sih oke-oke aja!” jawabnya.
“Beneran?” tanyaku.
“Iya. Hehehe..” jawabnya. Aku melonjak kegirangan karena merasa pernyataan cintaku diterima.
Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, tak ada kejelasan apapun mengenai hubungan kami saat itu. Aku hanyalah bocah yang salah paham dengan maksud pernyataan mbak Inggit.
Kencan kedua kami di daerah asalku, Jogja. Sayangnya, itu juga menjadi kencan terakhir kami. Entah mengapa aku tak begitu senang dengan acara jalan-jalan kami berdua saat itu. Tak ada yang spesial. Aku harus menunggunya berjam-jam sebelum akhirnya kami jalan-jalan. Siapa cowok gila yang rela menunggu dari jam 10 pagi hingga jam 2 siang kecuali aku? Pada akhirnya berujung pada adegan di mana aku hanya jadi tukang ojek yang mengantarnya ke mana-mana. Atau setidaknya, aku benar-benar merasa dimanfaatkan seperti itu.
Lantas di sore hari, kami duduk berdua di depan penginapannya. Kami saling diam cukup lama. Ia merasakan ketidaknyamananku. Pun ia tak merasa nyaman dengan sikapku yang menurutnya kekanak-kanakan. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka percakapan duluan.
“Dulu, sebelum aku bertugas di klinik asramamu, aku pernah pacaran dengan seseorang.” kini aku mulai menyimaknya.
“Ia adalah pria dengan segala kelebihan. Aku sangat mencintainya. Tapi suatu ketika ia menghilang tanpa alasan.” lanjutnya.
Kemudian ia merogoh kantong tasnya, lalu mengambil selembar foto dan kemudian menunjukkannya padaku.
“Ini?” tanyaku terkejut.
“Iya. Aku sengaja mati-matian mencari cara untuk mendapatkan pekerjaan di klinik agar aku bisa bertemu dengannya lagi.” ucapnya setengah sedih.
“Aku berhasil dan kemudian kami menjalin hubungan lagi.” lanjutnya. Rahasia hubungan kami rupanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan rahasia hubungan Mbak Inggit dengan pria yang ada di foto itu, yang-secara-mengejutkan, adalah pamong asramaku sendiri.
“Itu sebabnya saat ini aku di Jogja. Hubungan kami ketahuan, dan aku harus dikeluarkan.” ceritanya lagi. Yang aku tak percaya adalah, sebenarnya selama ini ia menganggapku apa? Setengah tahun kami menjalin kedekatan. Kukira ada yang berbeda di antara kami. Rupanya ia yang memiliki rahasia paling menyakitkan selama ini.
Aku terdiam. Hatiku hancur. Aku begitu geram dengan kenyataan ini. Aku tak ingin menanggapi ceritanya lagi. Aku memutuskan untuk pulang.