Hubungan kami semakin dekat, sementara ini terus menjadi rahasia di asrama bagi kami berdua. Memang kami tidak menjalani hidup sebagai sepasang kekasih. Tapi hubungan yang terlalu dekat di asrama dengan karyawan adalah hal yang dilarang di sini.
Suatu sore, ketika aku dan teman-temanku membersihkan halaman belakang asrama, mbak Inggit dan kawannya lewat di depan kami. Seperti biasa, teman-temanku yang kegenitan akan menyapa mbak Inggit dengan sapaan menggoda, lantas mbak Inggit akan selalu membalasnya dengan sapaan yang tulus dan penuh senyum. Selalu meluluhkan hati teman-temanku itu.
Mbak Inggit belum hilang dari pandangan, temanku, Tommy menyeletuk nakal, “Hayo siapa yang berani pacaran sama mbak Inggit?” lalu semua temanku menimpali “Apa to Tom? Kalau ngomong kok ngawur! Huuu!” mereka semua kemudian memasang muka malu. Aku hanya diam saja ketika mereka saling bersahutan dan heboh sendiri. Sementara mbak Inggit berjalan di depanku. Tanpa sapa. Tanpa kata. Ia hanya tersenyum malu padaku. Aku pun tersenyum padanya. Tak berlebihan.
Biarlah kedekatan kami menjadi rahasia kami berdua saja.
Gua Maria Puhsarang, Kediri. Bisa dikatakan itu adalah tempat aneh untuk kencan pertama kami: sebagai kedua orang tanpa hubungan apapun, bukan kekasih. Ia pun tampaknya tak ingin orang lain menganggap kalau kami berkencan. Maka ia mengajak temannya. Aku pun tak berkeberatan. Sekali lagi, karena kami tak ingin terkena sangsi dari asrama karena terlalu dekat. Ia bisa terancam dipindah, dan aku bisa dikeluarkan meskipun berprestasi.
Kami bertiga kemudian menikmati berwisata religi di sana. Cukup lama waktu yang kami habiskan. Mengingat saat ini liburan, jadi aku bisa menghabiskan banyak waktu bersamanya. Beberapa kali aku kasihan dengan kawannya itu. Ia seperti obat nyamuk bagi kami. Tapi tampaknya ia mengerti sehingga tak keberatan dengan keadaan semacam itu.
Akhirnya tiba saatnya kami pulang. Aku tak pernah menyangka, di saat kami memutuskan untuk berpisah, Mbak Inggit lalu menarikku dan memelukku. Dengan sedikit bejinjit, ia lalu mengecup pipi kiri dan kananku. Aku tersipu malu. Tak mampu berkata apa-apa. Ini adalah pertama kalinya seorang perempuan di luar keluargaku memeluk dan mengecupku (meskipun hanya pipi kiri dan kanan).
Sementara itu, kawannya tampak begitu terkejut dengan tindakannya padaku. Sebenarnya, aku pun sama terkejutnya. Tapi kemudian ia tersenyum dan seolah memahami ‘hal tak terucapkan’ yang terjadi di antara kami berdua.
Ketika liburan, tiada hari tanpa kami bertukar pesan atau saling menelepon. Hingga akhirnya, di satu malam aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
“Mbak. Apa kamu hanya menganggapku sebagai seorang adik?” tanyaku padanya.
“Maksudnya gimana dek? Hehehe…” balasnya.
“Mmmm.. gini mbak..” aku tercekik tiba-tiba. Seolah-olah semua perasaanku tak mampu kuungkapkan begitu saja.
“Gimana dek?” tanyanya heran karena aku tiba-tiba terdiam begitu saja di seberang telepon.
“Mmm.. gini mbak..” aku tercekik lagi.