Taku terus melangkah. Hatinya tak gentar ketika ia terus mengulur benang yang semula ia ikatkan pada batang pohon di tepi hutan. Benang itu seolah menjadi tradisi turun-temurun bagi orang yang memasuki hutan ini, hutan bunuh diri. Benang menjadi penuntun pulang, atau pengantar ajal. Jika seandainya Taku berubah pikiran, benang itu akan menununtunnya pulang. Namun sebaliknya, jika Taku semakin mantap dengan keputusannya, benang itu menjadi hal terakhir yang ia genggam menuju kedamaian.
Baca juga:
Sayangnya, kebanyakan orang yang memasuki hutan itu lebih memilih benang sebagai hal terakhir yang mereka genggam di sana. Di hutan itu, Aokigahara, yang artinya lautan pohon, dipercaya menjadi tempat bersemayamnya roh-roh orang mati. Sejuknya hutan, rimbunnya pepohonan, hijau sepanjang mata memandang, seolah memang menjadi tempat paling ideal untuk mati. Taku, dan para pendahulunya masih tetap menilai, bahwa tanah inilah tanah yang paling layak untuk menjadi tempat terakhir ia berpijak.
Bagai sebuah video yang diputar, sepanjang benang yang telah teruntai, Taku terus melihat kehidupan di masa lalunya. Ia lahir dari seorang ibu dan keluarga yang sederhana. Ayahnya hanyalah seorang buruh kasar. Tak banyak berharap, Taku bersekolah dengan biaya seadanya. Kondisi itu membuat ia tak ingin terjebak pada situasi semacam itu.
Maka ia belajar dengan tekun. Ketika anak seumurannya bermain riang, ia memilih menghabiskan waktunya untuk belajar. Ia begitu sayang kepada ayahnya yang berjuang mati-matian untuk menyekolahkannya. Melihat semangatnya itu, ayahnya menjadi semakin termotivasi. Begitu pula dengan ibunya yang kemudian terus mendukungnya dengan doa dan masakan yang enak tentunya.
Taku terus belajar hingga ia akhirnya selalu menjadi juara kelas. Bahkan ketika di universitas ia pun menjadi mahasiswa terbaik dengan nilai yang terbaik pula. Melihat segala kegemilangannya, perusahaan besar bahkan berebut untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pekerja yang baik.
Hari demi hari terus berganti. Ibu Taku meninggal dunia, bahkan sebelum Taku benar-benar bisa membuktikan bahwa dirinya akan mampu mengangkat derajat kedua orangtuanya. Hati Taku benar-benar pedih. Ia tak kuasa menahan kesedihannya. Ayahnya yang renta menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa baginya. Beruntung ayah taku terbiasa melakukan pekerjaan fisik, sehingga ia masih sehat hingga saat itu.
Tak lama, kehidupan Taku diwarnai oleh romansa cinta dari seorang gadis yang tak sengaja ditemuinya ketika ia pesta perayaan kesuksesan perusahaan bersama rekan kerjanya. Bulan demi bulan ia jalani, namun pada akhirnya Taku yang tak terbiasa hidup dengan pasangan sejak dulu lebih memilih karirnya dibandingkan kekasihnya. Maka jadilah Taku sendiri lagi setelah menjalani kisah cinta yang cukup singkat.
Suatu ketika tanpa sebab yang jelas, ayah Taku sakit keras. Taku berjuang mati-matian agar ayahnya sehat kembali hingga akhirnya seluruh hartanya ia habiskan untuk biaya perawatan ayahnya. Namun Tuhan berkehendak lain dengan mengambil ayah Taku. Sia-sialah segala kerja keras Taku selama ini.
Dengan sisa kehidupan yang ia miliki, ia memilih melampiaskan kesedihannya dengan bekerja lebih keras lagi. Kesedihan yang mendalam dipendam jauh di dalam hatinya tanpa ia ingin berbagi dengan seorang pun. Beban kerja yang tinggi terus dihadapinya. Perlahan tapi pasti, kehidupan ekonomi Taku membaik dengan sendirinya.
Namun di satu malam. Dengan segelas teh hijau hangat, Taku duduk sendiri di ruang keluarga. Malam ini cukup dingin baginya. Pemanas ruangan pun tak sanggup mengatasi dingin ini. Pun juga dengan teh hijau, sigap mengikuti situasi, menjadi dingin dan tak nikmat. Dingin ini berbeda. Ini dingin yang tak hanya muncul dari alam, tapi juga dari hati Taku.